Galeri Karya

Friday, September 08, 2006

 

Pemberantasan Korupsi Pasca Kinerja 100 hari "SBY-JK"

PEMBERANTASAN KORUPSI PASCA KINERJA 100 HARI “SBY-JK”
(Telaah Sebuah Pertanggungjawaban)
Oleh Anhar Adhi Firdaus
Program seratus hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir kurang dari 24 jam lagi, tepatnya hari Sabtu tanggal 29 Januari 2005. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang hingga kini belum terselesaikan. Satu diantaranya adalah masalah pemberantasan korupsi. Bagaimanakah kabinet “Indonesia Bersatu” menyelesaikan masalah yang satu ini? Dapatkah pemberantasan korupsi berjalan mulus?
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Human Development Repotr 2002, yang dipublikasikan oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), bahwa kita temukan Indonesia pada peringkat 110 dari 173 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan Singapura pada peringkat ke-25, Indonesia bukanlah apa-apa.
Dari data yang juga berhasil diambil Indonesia Corruption Watch (ICW), selama tahun 2004 yang lalu tercatat sebanyak 400-an kasus korupsi dengan total kerugian negara 5,3 triliun. Ditambah lagi kasus ini melibatkan 1000 lebih anggota dewan dan mantan anggota DPRD. Selain itu, Jaksa Agung Rahman Saleh lah yang mungkin harus berpusing-pusing kepala terlebih dahulu. Mengapa? Karena ditambah lagi limpahan kasus-kasus korupsi periode pemerintahan sebelumnya yang sempat sampai saat ini belum diketahui nasibnya. Serta berdasarkan intruksi langsung dari Pak SBY bahwa Kejagung bekerja sama dengan Mabes Polri, Departemen Hukum dan masih dengan beberapa lagi instansi pemerintahan lainnya untuk dapat memburu ke-13 koruptor kelas kakap yang sempat kabur keluar negeri. Dari beberapa nama koruptor yang menjadi buronan tersebut muncul sebuah nama yang sudah familier sekali di telinga kita yaitu Edy Tansil. Apakah tugas ini dapat berjalan dengan baik? Kita tunggu hasilnya. (Kompas, 24 Desember 2004)
Pada awal dekade kepemimpinannya ini, Pak SBY sudah dihadapkan sekaligus pada dua masalah yang sangat besar. Yaitu masalah kinerjanya selama seratus hari dan belum lagi masalah bencana alam seperti gempa di Alor, Nabire, Makasar dan yang lebih parah lagi yaitu di NAD, Sumatera Utara.
Belum lagi mengenai masalah korupsi. Makhluk yang satu ini merupakan salah satu problem yang sangat klasik bagi kita semua. Sejak dari era Orde baru hingga sekarang masalah ini belum juga bisa dihilangkan atau paling tidak ditekan serta diminimalisir sedemikian rupa.
Beberapa waktu yang lalu presiden pun hanya berpendapat “I don’t care” ketika ditanyai mengenai hasil yang telah diperolehnya selama seratus hari ini. Kita semua tahu bahwa melalui semboyan “Bersama kita bisa” SBY dengan kabinet Indonesia bersatu-nya memaknai perubahan bagi bangsa ini melalui satu konsep kepemimpinan yang disebut “Troika”. Yaitu melalui tiga komponen, yang terdiri dari pemerintah, masyarakat dan swasta. Seharusnya melalui tiga komponen tersebut SBY dapat lebih memaksimalkan kerjanya untuk dapat memberantas korupsi. Tetapi apa? Hasil yang dicapainya masih sangat jauh sekali dari target yang telah ditetapkannya sendiri. Pak SBY sepertinya untuk saat ini masih sangat terfokus pandangannya pada masalah Tsunami di Aceh. Hingga dapat dikawatirkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia sedikit akan berjalan alot (pelan). Selain itu pula, bila kita amati bahwa para menteri kabinet Inonesia bersatu masih seperti beradaptasi dengan tempat kerjanya. Belum terlihat nampak sekali akan hasil yang nyata atau konkret atas kinerjanya kurang lebih selama seratus hari ini.
Tetapi, agar tidak dikira SBY ingkar janji, presiden pun mengambil tindakan yaitu dengan menandatangani Intruksi Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Di dalam Inpres itu tercatat sebanyak 10 instruksi umum dan 11 instruksi khusus. Instruksi yang bersifat khusus ditujukan langsung kepada para menteri dan pejabat lain yang terkait langsung dengan pemberantasan korupsi. Yang inti semua itu, bahwa agar segera mempercepat pemberantasan korupsi sesuai dengan kewenangan pejabat masing-masing. Dari pada itu, Pak SBY juga berusaha mengambil tindakan kerja sama dengan Singapura. Yaitu dengan melakukan ekstradisi antar kedua negara tentunya juga mengenai masalah korupsi ini.
Menurut SBY sendiri, apa yang disebut program 100 hari, “memang telah menjadi wacana politik. Menurut beliau tantangan ke depan bukanlah 100 hari tetapi, lima tahun mendatang. Tantangan itu berupa, bagaimana pengelolaan politik, hukum dan keamanan itu dapat terkendali. Yang semuanya itu hanya dapat tercapai dengan rencana yang baik, manajemen baik dan yang terpenting kerja keras ujar SBY.
Akan tetapi, yang terpenting sekarang bukanlah hanya untuk bicara saja, semua orang juga dapat melakukannya jika hanya omong kosong belaka. Rakyat Indonesia sekarang tidak membutuhkan sekedar omongan gombal, yang jelas ialah langkah-langkah nyata serta hasil yang konkret. Seharusnya SBY lebih bisa memaksimalkan kinerjanya, tidak hanya terfokus dalam satu hal saja, melainkan hal-hal yang lain juga patut dipertimbangkan matang-matang. Jangan sampai kita melihat penurunan moral atau pembusukan akhlak bangsa di kalangan elite pemerintahan dengan hadirnya suatu tindak korupsi di lingkungan mereka. Untuk dapat melaksanakan itu semua, SBY harus membuat suatu agenda khusus yaitu untuk dengan membuat program jangka pendek dan jangka panjangnya.
Untuk jangka pendeknya yang pertama, SBY harus dapat memperbaiki hukum yang ada. Dimana hukum disini bersifat umum. Dari Penegak hukumnya, hingga semua elemen yang masuk didalamnya. Dan juga undang-undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jangan hanya hitam di atas putih saja. Tetapi benar-benar dipertanggungjawabkan secara jantan dan tanpa merasa belas kasihan.
Kedua, menuntaskan kasus-kasus korupsi yang hanya bersifat ecek-ecek. Justru dari hal yang sifatnya hanya ecek-ecek (sepele) itulah, apabila dibiarkan saja lama-kelamaan juga akan menimbun sehingga akan bertambah banyak masalahnya. Seperti kasus di desa-desa misalnya ditingkat RW/RT, lurah, camat, dan sebagainya. Kalau perlu SBY sendirilah yang turun tangan langsung menyelesaikan masalah yang kecil ini.
Ketiga, yaitu mengembalikan kembali masyarakat kita kepada ajaran Pancasila. Karena sudah jelas sekali bahwa Pancasila merupakan pedoman bangsa Indonesia untuk hidup sesuai dengan norma yang berlaku. Dimana dari kelima sila yang ada itu, menyimpan suatu nilai atau ajaran yang berbeda-beda. Dan dari tiap ajaran itu juga mempunyai makna yang berbeda pula.
Keempat, Pak SBY harusnya mempunyai supervisi (terobosan-terobosan) baru, yang dapat diterapkan dalam usaha penanggulangan kasus korupsi. Karena dengan adanya terobosan tersebut, juga sebagai bentuk penyegaran (refresh) terhadap program-program yang terdahulu yang mungkin tidak dianggap terlalu manjur untuk mengatasi masalah korupsi ini. Sedangkan untuk program jangka pendek selanjutnya yaitu dengan memperbaiki mental masyarakat kita. Pak SBY harus benar-benar kerja keras untuk dapat mewujudkan mental tersebut. Karena dengan tidak henti-hentinya berkampanye kemana-mana untuk mengobarkan semangat kepada masyarakat bahwa korupsi termasuk perbuatan yang dianggap sebagai hasil budaya yang harus dihilangkan dari muka bumi. Karena apabila korupsi ini selalu dianggap aktual, serta transparan, tegas, jujur dan juga adil dalam menuntaskannya. Alhasil, masyarakat sendiri secara psikologis akan tergugah jiwanya yaitu merasa Jijik sendiri untuk melakukan tindak korupsi.
Nah, untuk langkah jangka panjangnya terdengar kabar burung bahwa pemerintah melalui departemen pendidikannya sedang membuat rancangan kurikulum korupsi. Inilah hal yang patut kita dorong terus-menerus. Karena dengan adanya kurikulum korupsi yang masuk ke sekolah-sekolah entah itu negeri atau swasta diharapkan bahwa program ini akan membawa angin segar bagi kita semua khususnya untuk masa depan bangsa Indonesia yaitu sebagai pencegahan dini adanya tindak pidana korupsi. Selain pencegahan itu muncul dari dalam diri kita sendiri dan dari dalam lingkungan keluarga yang mendukung.
Semoga saja, itu semua bukan sebuah seruan doang. karena praktik korupsi yang ada di Indonesia ini telah menghambat upaya bangsa ini untuk menciptakan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.

 

Semangat Hari PAhlawan

MENJADIKAN SEMANGAT HARI PAHLAWAN SEBAGAI AJANG PERBAIKAN WATAK DAN MORAL UNTUK MEWUJUDKAN RASA PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA INDONESIA

Oleh Anhar Adhi Firdaus

Prospek dan tantangan di masa depan tidak terlepas dari pertimbangan yang telah terjadi sejak masa lalu. Kesuksesan atau kegagalan seseorang di saat ini adalah akibat dari tindakannya saat ini. Atas dasar pemahaman seperti itu, sejarah mempunyai kedudukan yang penting karena mempelajari proses perubahan dalam dimensi waktu. Pelajaran sejarah sangat penting untuk membangun pemahaman keilmuan berperspektif waktu, memori bersama, dan kesadaran terhadap nilai warisan sejarah budaya bangsa.

Sejarah tidak dapat kita lupakan begitu saja dari hati kita. Justru melalui sejarah inilah kita dapat berinstropeksi diri berkenaan dengan semua hal yang pernah kita alami dalam hidup di dunia ini. Kita semua tahu, betapa berharganya nilai-nilai sebuah arti perjuangan bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. Pahlawan-pahlawan kita yang telah rela berkorban demi bangsa dan negaranya, merupakan simbol serta bukti nyata akan perjuangan mereka bagi bangsa tercinta.

Semestinya sudah tidak asing bagi kita, tidak perlu lagi untuk diingatkan bahwa tanggal 10 November merupakan salah satu diantara berbagai hari yang bersejarah yang teramat penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sejak lebih dari setengah abad yang lalu, tanggal 10 November telah dinyatakan sebagai Hari Pahlawan. Di zaman Soekarno-Hatta, hari itu diperingati secara nasional sebagai hari istimewa yang dirayakan secara khidmat, dan dengan rasa kebanggaan yang besar. Pada kurun waktu yang begitu lama, peringatan hari pahlawan merupakan kesempatan bagi seluruh bangsa bukan saja untuk mengenang jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang dalam perjuangannya bersama bagi tegaknya Republik Indonesia. Akan tetapi, peringatan Hari Pahlawan 10 November juga merupakan kesempatan yang ideal untuk selalu memupuk secara bersama-sama tentang kesadaran akan tanggung jawab karakter moral bangsa untuk dapat menumbuhkan nilai persatuan dan kesatuan.

Seiring dengan berjalannya waktu, dalam era serba modern ini, bangsa Indonesia telah tumbuh menjadi bangsa yang berkembang maju. Namun, tetap juga dalam perjalanannya bangsa ini masih dihadapkan pada hambatan serta tantangan untuk kedepannya. Semua rintangan tersebut muncul tidak hanya dari internal saja, tetapi bercampur aduk dengan masalah-masalah yang sifatnya ekternal. Mulai dari masalah perekonomian, sosial, budaya, perbedaan Ras, suku, adat- istiadat, agama, krisis moneter, utang luar negeri, sumber daya manusianya, kekayaan alam Indonesia bahkan hingga masalah pertumpahan darah seperti, perang saudara di berbagai pelosok penjuru tanah air, terjadinya berbagai peristiwa peledakan bom serta munculnya berbagai berita entah itu dari televisi, surat kabar, atau radio yang memberitakan serupa bahwa Indonesia ialah salah satu sarang teroris Internasional dan belum lagi masalah yang berkenaan dengan krisis moral bangsa Indonesia. Nah, semua masalah tersebutlah yang tetap menjadi PR buat kita bersama khususnya bagi rakyat Indonesia, bagaimana seharusnya kita dapat membawa memaknai peringatan Hari Pahlawan 10 November, guna memperbaiki serta menyelesaikan masalah-masalah itu terutama yang berkenaan langsung dengan watak dan moral bangsa. Karena apabila kita amati secara seksama, sesunguhnya ujung pangkal dari munculnya berbagai masalah itu ialah terjadinya krisis moral rakyat Indonesia yang berkepanjangan. Akankah semangat peringatan Hari Pahlawan dapat memperbaiki bangsa ini?

NOSTALGIA YANG TAK PERNAH TERLUPAKAN

Dalam mengenang arti Hari Pahlawan 10 November sudah sepatutnyalah kiranya bahwa kita memandang peristiwa itu sebagai tahap yang penting dalam perjalanan jauh bangsa kita. Dan alangkah panjangnya, long march yang harus ditempuh Indonesia, untuk melahirkan republik ini. Kalau kita resapi kembali secara mendalam perjalanan bangsa Indonesia menuju proklamasi kemerdekaan, maka kelihatan sekali betapa berharganya peristiwa itu. Begitu banyak orang dari berbagai suku, agama, asal, keturunan ras, keyakinan politik, telah ambil bagian dalam long march yang jauh ini, dengan pengorbanan mereka yang tidak sedikit, serta dengan pertumpahan darah, mereka buktikan semuanya atas kecintaannya terhadap bangsa.

Kalau dilihat dari berbagai segi, pertempuran besar-besaran dan gagah berani yang dilancarkan oleh pemuda dari beraneka-ragam suku bangsa di Surabaya dengan dukungan luas dari rakyat Indonesia, sungguh merupakan tragedi yang patut dijadikan sebuah kenangan, pelajaran dan pendidikan. Karena itu, sudah benarlah bahwa peristiwa ini dijadikan sebagai hari besar bangsa, yaitu Hari Pahlawan. Bukan saja bahwa pertempuran Surabaya telah menjadi obor dan sumber semangat bagi berkorbarnya api pertempuran diberbagai daerah lainnya di Indonesia, tetapi juga merupakan suatu peristiwa yang kemudian menarik perhatian dunia terutama diplomatik internasional. Singkatnya, bahwa tanggal 10 November 1945 adalah bentuk nyata sebagai tekad kolektif untuk membela dan mempertahankan republik Indonesia.

Selama ini banyak orang bicara tentang Hari Pahlawan, tanpa pada umumnya mengerti bahwa hari pahlawan sesungguhnya ialah moment yang revolusioner. Bagaimana tidak, dalam jangka lama pertempuran Surabaya dapat mengakibatkan sebagai sumber inspirasi perjuangan bagi seluruh negeri. Berkat peran Bung Karno, maka sebelum orde baru berkuasa, perayaan hari pahlawan selalu dikaitkan erat dengan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme.

Bung Karno telah menjadikan hari pahlawan sebagai sumber inspirasi perjuangan, sebagai sarana untuk pendidikan politik dan patriotisme, sebagai penghargaan terhadap tokoh-tokoh dari berbagai suku, agama dan keyakinan politik yang telah berjuang untuk kepentingan rakyat. Harus kita ingat bersama bahwa api revolusioner perjuangan rakyat melawan kolonialisme, imperialisme, dan penindasan adalah jiwa Hari Pahlawan yang sesungguhnya.

Disudut perkampungan yang jauh disana ada sekelompok anak-anak kecil yang sedang bersukaria mengikuti sebuah acara dari rangkaian kegiatan perayaan Hari Pahlawan. Pemandangan seperti ini tidak hanya kita jumpai di tempat itu bahkan hampir di seluruh pelosok negeri, mungkin dalam waktu yang bersamaan pula mereka juga mengadakan berbagai macam kegiatan yang serupa.

Tidak sedikit diantara mereka dalam menyambut peringatan ini dengan sangat semarak dari sejak mengadakan berbagai macam perlombaan, baik dalam bentuk olahraga, maupun kesenian, dan lainnya. Bahkan tidak sedikit diantara dari mereka yang belum merasa sempurna jika perayaan kemerdekaan negeri ini tidak ditutup dengan pesta hiburan rakyat, sebagai puncak dari semua kegiatan.

Dari cerita tersebut, patutlah kita acungkan jempol. Karena dari situlah masyarakat Indonesia pun masih mengingat selalu akan jasa-jasa serta kenangan-kenangan para pejuang yang telah gugur membela hak bangsa ini untuk memperoleh kemerdekaannya.

Selain itu pula, rakyat pun tak akan dapat melupakan bagaimana jirih payah serta usaha para pahlawan bangsa ini yang gigih dan pemberani melawan para penjajah. Mereka selalu mengenang arti sebuah nilai perjuangan.

Kebesaran arti pertempuran Surabaya, yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan, bukanlah hanya karena bagitu banyaknya pahlawan baik yang dikenal maupun tidak dikenal yang telah mengorbankan diri demi nusa dan bangsa. Bukan pula hanya karena lamanya pertempuran secara besar-besaran dan besarnya kekuatan lawan. Di samping itu semua, kebesaran arti pertempuran Surabaya juga terletak pada peran dan pengaruhnya, bagi jalanya revolusi waktu itu. Pertempuran Surabaya juga telah dapat mempengaruhi rakyat banyak untuk ikut serta, baik secara aktif maupun secara pasif, dalam berjuang melawan musuh bersama pada waktu itu.

Ciri utama berbagai perjuangan yang meletus di banyak kota dan daerah di Indonesia adalah bahwa peristiwa-peristiwa itu mendapat dukungan besar moral dan material dari rakyat, yang berarti juga telah menggugah rasa kebersamaan patriotik dalam perjuangan.

Dalam merenungkan kembali pertempuran Surabaya, 10 November 1945 (dan juga pertempuran lainnya yang terjadi di berbagai tempat di negeri kita) maka tergambarlah dalam memori kita, betapa indahnya suasana revolusi ketika itu, sewaktu nilai patriotisme dijunjung tinggi dan semangat rela berkorban demi kepentingan rakyat dan bangsa menjadi kebanggaan tersendiri. Suasana revolusi pada saat itu juga telah mampu menyumbangkan pendidikan watak dan moral yang besar bagi banyak orang dan terutama untuk kemajuan bersama.

Maka patutlah kiranya kita tetap menyimpan kenangan manis itu semua, sebagai simbol dari kakayaan sejarah bangsa. Dan kita harus selalu menyimpan harapan bahwa bangsa kita akan bisa menemukan kembali arah besar yang sudah ditunjukkan oleh para pejuang perintis kemerdekaan dan para pahlawan yang telah mendahului kita.

Alangkah baiknya dalam sela-sela peringatan Hari Pahlawan atau peringatan-peringatan hari kemerdekaan yang serupa, ialah satu hal yang mesti dipertanyakan kembali lantaran seringkali terlupakan adalah peran dan kedudukan rakyat. Akankah keadilan selalu dijunjung tinggi bagi rakyat? Sungguhkah aspirasi rakyat tersalurkan dalam kursi pemerintahan? Masihkah pemerintah peduli akan kehidupan rakyat? Nah, berbagai macam pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena kemerdekaan diproklamasikan atas nama rakyat, cermin kehendak rakyat dan dipertahankan oleh dan untuk rakyat semata.

Dilihat dari sebuah perjuangannya, sumbang sih rakyat tak kalah besarnya dengan para tentara yang mengangkat senjata sebagai serdadu atau gerilya, rakyat pun juga turun tangan dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sangatlah adil apabila dewasa ini pada abad yang katanya sudah maju, rakyat kembali mempertanyakan dan menggugat kedudukanya terutama dengan berbagai kisah tragis yang menimpa mereka, seperti kemiskinan, mahalnya kebutuhan hidup, ketidakadilan, kesenjangan sosial, ketidakpuasan serta berbagai macam problema yang selalu datang melanda hidup mereka.

Dalam cerita-cerita di medan perjuangan, keterlibatan rakyat adalah nyata. Partisipasi, peranan dan keterlibatan rakyat dalam merintis, memproklamirkan, mempertahankan serta memajukan negeri ini tidak bisa gampang hanya dipandang sebelah mata saja.

Ada mungkin beberapa orang atau anggota masyarakat yang berpendapat beda bahwa “pahlawan itu bukannya dari kalangan rakyat, namun pahlawan ialah dari kalangan militer semata,”anggapan-anggapan seperti inilah yang harus kita kita benarkan serta kita luruskan. Karena apa? Karena, bila kita hanya memandang arti pahlawan itu dari kalangan militer semata, kita harus ingat bahwa kemerdekaan bangsa ini juga tidak lepas dari tangan rakyat yang juga turut banyak sekali membantu. Oleh karena itu, opini-opini yang bertentangan itu harus kita benarkan kembali demi tercapainya tujuan dan keutuhan persatuan bangsa.

Cerita rakyat adalah cerita tentang gambaran kehidupan yang penuh keikhlasan, pahit getirnya hidup serta kesadaran akan dirinya, sebagai rakyat bawah, serta rakyat kecil. Mareka tidak pernah menuntut apa-apa, tertutama minta disebut dan dihargai sebagai pahlawan.

Mestinya, peran dan kedudukan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak boleh diterlantarkan. Sebuah negara besar tidak mungkin ada tanpa rakyat. Sedangkan jika kita melupakan itu semua, yaitu melupakan keberadaan rakyat, maka kita semua termasuk orang yang tak tahu diuntung dan tak tahu akan balas budi serta termasuk orang-orang yang tak tahu berterima kasih.

MEWUJUDKAN WATAK DAN MORAL BANGSA

Bangsa Indonesia tidak hidup dalam kevakuman. Namun, hidup dalam jaringan nilai-nilai, kebiasaan, dan gagasan-gagasan yang sejak dulu telah tumbuh dan berkembang dalam jiwa sanubari bangsa Indonesia yang disebut dengan kebudayaan di mana nilai-nilai moral dan karakter Pancasila digali di dalamnya. Pembangunan karakter bangsa harus memperhatikan secara sungguh-sungguh budaya bangsa Indonesia (Arya Sunu, 2004)

Karakter bangsa Indonesia yang membentuk jati diri bangsa ini bukanlah sebuah warisan yang ditemukan ataupun jatuh dari langit begitu saja. Melainkan sebuah konstruksi sosial, intelektual, dan ideologis yang diciptakan, dibangun dan diperjuangkan dengan membangkitkan aspek-aspek emosional kebangsaan bangsa.

Sebab, sebelum lahir apa yang disepakati sebagai bangsa dan negara Indonesia, masyarakat lahir dan tumbuh dalam komunitas lokal yang masing-masing memiliki jati diri, tradisi, bahasa, ruh, dan pemimpin yang lahir dari kalangan mereka sendiri.

Jati diri atau identitas bangsa Indonesia ditentukan oleh hasil aktualisasi nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai budaya bangsa ini adalah seperangkat nilai yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan substansi falsafah pancasila.

Sedangkan penentuan kepribadian bangsa sebagai karakter bangsa yang khas adalah hasil pengembangan budaya, rajutan nilai budaya lokal dan nasional yang dihidupi oleh masyarakat Indonesia. Kebudayaan adalah ruh bangsa yang juga merupakan jati diri bangsa. Tinggi rendahnya martabat bangsa sangatlah ditentukan oleh tinggi rendahnya budaya dalam aspek permasalahan suatu bangsa.(Sri Sultan Hamengku Buwono X, 2004)

Seperti apa yang telah dikatakan atau diuraikan oleh tokoh-tokoh kita tersebut diatas, jelas sekali bahwa dalam membentuk suatu karakter moral bangsa, banyak sekali permasalahan-permasalahan yang patut kita perhatikan. Yaitu berkenan dengan nilai khasanah budaya bangsa. Karena, karakter serta moral bangsa inilah yang nantinya diharapkan dapat membentuk jati diri atau identitas sebuah bangsa sendiri.

Apabila kita lihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan masyarakat, seperti banyaknya tindak pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, penculikan serta tindakan asusila lainnya yang begitu banyak. Kesemuanya itu bila kita pikirkan bersama adalah akibat dari terjadinya penurunan moral manusia.

Fenomena kekerasan yang belakangan ini marak terjadi di Indonesia sungguh patut menjadi perhatian kita semua. Meskipun bangsa Indonesia telah memiliki landasan moral, yakni “moral pancasila.” Namun, menurut catatan sejarah fenomena kekerasan di negeri ini telah dimulai sejak negara RI berdiri. Pada awal periode, pemerintahan berkali-kali terjadi pergantian perdana menteri yang diwarnai aksi kekerasan pula. Peristiwa G 30 S PKI, pemberontakan APRA, Pemeberontakan DI/TII, tragedi Kedung Ombo, Tanjung Periuk, Sampit, Maluku, Kudatuli, perebutan Papua, Timor-Timur, tragedi Aceh, dan lainnya. Sungguh masalah yang amat memprihatinkan. Yang terpenting lagi, tindak kekerasan ini juga turut dilakukan oleh oknum-oknum yang juga menjadi peletak dasar-dasar moral pancasila.

Misalkan saja, dalam masa-masa sekarang ini setelah selesainya pemilu tahun 2004, yang merupakan tolak ukur pembangunan bangsa kita, dimana dengan terpilihnya seorang pemimpin yang diharapkan dapat benar-benar membangun kembali bangsa ini terutama dalam membangun sebuah karakter watak dan moral bangsa.

Ketika itu seiring dengan adanya pemilu ini, muncullah suatu kebudayaan yaitu kampaye pemilu. Akan tetapi, efen-efen ini justru malah disalahgunakan sebagai ajang sebagai perusakan norma-norma di masyarakat kita. Bagaimana tidak? Para pemimpin parpol dan para peserta kampanye sudah tidak mengindahkan lagi etika moral dan etika sosial. Bahkan agama, ras dan suku bangsa pun sudah dijadikan sebagai tumbal dari penyimpangan etika moral ini.

Norma atau kaidah yang lazimnya disebut sebagai nilai moral yang mengatur diri pribadi manusia Indonesia sudah tidak sepadan lagi dengan akal pikiran dan hati mereka.

Bagi bangsa Indonesia derajat kepribadian atau wataknya sangat ditentukan oleh nilai-nilai moral yang berlandaskan Pancasila. Dengan demikian tujuan moral bagi bangsa adalah “memberikan arahan gerak atas pengamalan Pancasila dalam pembangunan, sekaligus sebagai perwujudan harkat dan martabat kepribadian luhur bangsa Indonesia (Sudomo, 1990)

Pernah dalam ceramahnya Mochtar Lubis, seorang jurnalis membuat gebrakan yang menggemparkan dalam ceramahnya, mengenai profil manusia Indonesia yang terdapat paling sedikit tujuh ciri manusia Indonesia yang salah satunya ialah “Segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatan, putusan dan pikirannya, atau sering mengalihkan tanggungjawab tentang suatu masalah dan kegagalan kepada orang lain.”

Memang benar apa yang telah di katakan oleh beliau. Beliau mengatakan hal ini secara keseluruhan, memang sesuai dengan apa yang terjadi di dalam negara ini. Namun pernyataan ini mengingatkan semua pihak mengenai adanya watak dan moral yang sangat dikhawatirkan terjadi pada bangsa Indonesia secara menyeluruh dan menjadi penyakit sosial yang dapat merusak mentalitas manusia Indonesia.

TANTANGAN PERJUANGAN BANGSA INDONESIA

Genap berumur 59 tahun sudah lamanya bangsa Indonesia merdeka. Dalam sebuah pintu panantian ini, masih saja bangsa kita dihadapkan pada berbagai macam persoalan sebagai hambatan dan tantangan kehidupan perjalanan bangsa. Krisis ekonomi yang telah lama melanda Indonesia masih belum juga menemukan titik terang. Serta bertumpuknya hutang-hutang luar negeri semakin mempengaruhi citra nama baik bangsa Indonesia di mata dunia. Adanya penurunan nilai mata uang Rupiah terhadap dolar juga berimbas pada perekonomian kita. Ditambah lagi dengan banyaknya korban yang tak bersalah mati begitu saja dikarenakan ada ledakan bom dimana-mana. Terjadinya kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, krisis sumber daya alam, praktek nepotisme, kolusi, korupsi di dalam kursi pemerintahan, adanya jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar yang seharusnya menjadi modal dasar berharga, namun belum efektif keberadaannya. Serta berbagai macam problematika seperti masalah sosial, agama, golongan, pendidikan, adanya tingkatan sosial di masyarakat.

Semuanya itu merupakan bukti nyata bagi kita semua, bahwa betapa sulitnya mengarungi kehidupan ini. Pasti ada saja segala rintangan dan hambatan di depan kita yang siap menghadang laju perkembangan bangsa Indonesia.

Terjadinya dekadensi moral dunia yang dibawa oleh arus globalisasi yang dapat merubah nilai-nilai moral, menjadi suatu dilema tersendiri bagi Indonesia. Kita bisa bayangkan bahwa bagaimana seandainya bila rakyat Indonesia terimbas pada faktor eksternal seperti ini. Tentu dikhawatirkan nantinya akan terjadi suatu penurun nilai moral rakyat Indonesia (krisis Moral) akibat datangnya arus tersebut.

Kita semua tahu pamerintah memang telah berusaha keras untuk dapat membangun, mengembangkan dan memajukan bangsa Indonesia supaya menjadi bangsa yang makmur. Akan tetapi, dilain pihak lihat saja para penguasa kita yang duduk di kursi pemerintahan mereka memang sedang berfikir serta bekerja keras untuk mengambil langkah serta mengambil keputusan yang terbaik bagi bangsa agar Indonesia dapat lebih maju lagi. Sayangnya, pemerintah pun lupa sendiri akan masalah-masalah yang mungkin harus cepat diatasi yaitu masalah yang berkenaan dengan adanya penurunan watak serta moral bangsa Indonesia.

Apabila kita amati, pemerintah pun hanya berotak-atik saja pada masalah perekonomian bangsa ini. Memang betul, bahwa perekonomian Indonesia harus segera diperbaiki, karena bagaimana pun kita sebagai rakyat hanya dapat berharap bahwa perekonomian di bangsa ini cepat bisa teratasi agar tidak lagi terjadi masalah-masalah seperti krisis moneter, utang luar negeri dan lainnya. Namun, apakah tidak berdosanya kita, apabila sebagai rakyat yang cinta pada negeri ini, membiarkan begitu saja melihat negara kita tertimpa suatu masalah yang langsung berhubungan dengan moral, watak serta etika sumber daya manusia bangsa Indonesia, yang dapat menggerogoti jiwa, akhlak, pribadi serta nilai budi pekerti manusia Indonesia itu sendiri.

Menurut Bapak Poespowardojo, 1989 dampak lain dari pembangunan yang terlalu diorientasikan pada bidang perekonomian adalah terdesaknya harkat dan martabat manusia oleh alat-alat ekonomi dan materi. Serta hal ini justru akan dikhawatirkan dengan timbulnya sifat mental rakyat Indonesia yang lebih menghargai materi, benda, sarana serta prasarana dengan pendekatan kuantitatif. Dan juga dikhawatirkan pula hal ini akan dapat munculkan sifat yang materialistis, kurang percaya diri, lemah mentalitas, serta semakin mendangkalnya nilai etis dan spiritual. Dengan demikian dapat terjadinya disintegrasi dan kesejangan sosial yang lebih ditentukan oleh materi yang dapat menghambat tumbuhnya nilai persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia.

Dalam memperingati Hari Pahlawan pada tahun 2004 ini, bangsa ini haruslah juga mau berinstropeksi diri berkenaan dengan masalah yang sedang dihadapi oleh negaranya. Apabila kita lihat para pejuang 45 yang telah sekuat tenaga, bahu-membahu, saling tolong-menolong, adanya sikap tepo seliro tanpa membedakan HAM, ras, agama yang telah mengorbankan jiwanya dengan dilandasi rasa persatuan dan kesatuan yang kuat untuk melawan penjajah dengan hanya satu tujuan yaitu merdeka atau mati.

Sedangkan sekarang bangsa Indonesia pun berpecah belah. Dengan adanya berbagai macam ledakan bom di berbagai tempat di segala penjuru tanah air, yang berimbas pada menurunnya nilai persatuan dan kesatuan rakyat. Dimana antara satu dengan lainnya saling menyalahkan, terjadinya perselisihan antar umat beragama, disintergrasi pada golongan tertentu serta lain-lain. Mungkin semuanya itu disebabkan karena terjadinya krisis moralitas bangsa yang terjadi pada sumber daya manusia Indonesia sendiri. Yang berakibat pula pada krisis sosial seperti krisis nilai-nilai, adanya kesenjangan sifat keteladanan, kurangnya sikap idealisme dan citra generasi muda tentang peranannya bagi masa depan bangsa serta makin bergesernya sikap manusia ke arah pragmatis yang dapat membawa ke sifat materialisme dan individualisme yang tinggi.

Maka dari itu, kita semua yang termasuk bagian dari rakyat Indonesia bersama-sama dengan pemerintah seharusnya dapat membanting setir untuk dapat memperbaiki problematika ini. Yaitu dengan menggerakkan kembali program pemerintah yang berupa Pembangunan Watak dan Moral Pancasila (PWMP). Metode operasional ini harus diterapkan antara lain sebagai berikut :

  1. Edukatif dan Reedukatif, maksudnya melakukan pendidikan kepada setiap obyek sasaran. Metode Edukatif dilakukan pada lembaga formal dan masyarakat luas untuk memperkenalkan dan mengembangkan pengetahuan dan akal budi. Sedangkan metode reedukatif diterapkan pada orang dewasa, yang diharapkan menjadi agen-agen perubahan.

  2. Sifat Keteladanan yaitu menularkan sikap dan perilaku yang baik secara konsisten, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, agama, pendidikan, dan negara.

  3. Metode Kekuasaan yaitu, terutama menyangkut penggunaan daya dan kewenangan pemerintah dalam melakukan penegakan hukum, disiplin nasional, serta bentuk-bentuk lainnya.

  4. Metode persuasi dan Komunikasi yaitu, memberikan ajakan, himbauan, dorongan dan motifasi kepada seseorang, kelompok dan masyarakat luas, sehingga tumbuh watak dan moral yang diharapkan.

Nah, apabila langkah-langkah tersebut dapat kita terapkan bersama tentunya dengan dilandasi sifat tanggung jawab, kepedulian, rasa iba, rasa mencintai, tidak pantang menyerah serta sifat percaya dan dengan dijiwai semangat pahlawan ada di hati kita insya’ Allah tujuan kita untuk memperbaiki watak dan moral bangsa Indonesia yang berhubungan langsung dengan nilai persatuan dan kesatuan akan terwujud tentunya juga dengan selalu bersumber pada nilai-nilai luhur Pancasila.






MENJADIKAN SEMANGAT HARI PAHLAWAN SEBAGAI AJANG PERBAIKAN WATAK DAN MORAL UNTUK MEWUJUDKAN RASA PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA INDONESIA
Oleh Anhar Adhi Firdaus
Pendahuluan
Prospek dan tantangan di masa depan tidak terlepas dari pertimbangan yang telah terjadi sejak masa lalu. Kesuksesan atau kegagalan seseorang di saat ini adalah akibat dari tindakannya saat ini. Atas dasar pemahaman seperti itu, sejarah mempunyai kedudukan yang penting karena mempelajari proses perubahan dalam dimensi waktu. Pelajaran sejarah sangat penting untuk membangun pemahaman keilmuan berperspektif waktu, memori bersama, dan kesadaran terhadap nilai warisan sejarah budaya bangsa.
Sejarah tidak dapat kita lupakan begitu saja dari hati kita. Justru melalui sejarah inilah kita dapat berinstropeksi diri berkenaan dengan semua hal yang pernah kita alami dalam hidup di dunia ini. Kita semua tahu, betapa berharganya nilai-nilai sebuah arti perjuangan bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. Pahlawan-pahlawan kita yang telah rela berkorban demi bangsa dan negaranya, merupakan simbol serta bukti nyata akan perjuangan mereka bagi bangsa tercinta.
Semestinya sudah tidak asing bagi kita, tidak perlu lagi untuk diingatkan bahwa tanggal 10 November merupakan salah satu diantara berbagai hari yang bersejarah yang teramat penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sejak lebih dari setengah abad yang lalu, tanggal 10 November telah dinyatakan sebagai Hari Pahlawan. Di zaman Soekarno-Hatta, hari itu diperingati secara nasional sebagai hari istimewa yang dirayakan secara khidmat, dan dengan rasa kebanggaan yang besar. Pada kurun waktu yang begitu lama, peringatan hari pahlawan merupakan kesempatan bagi seluruh bangsa bukan saja untuk mengenang jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang dalam perjuangannya bersama bagi tegaknya Republik Indonesia. Akan tetapi, peringatan Hari Pahlawan 10 November juga merupakan kesempatan yang ideal untuk selalu memupuk secara bersama-sama tentang kesadaran akan tanggung jawab karakter moral bangsa untuk dapat menumbuhkan nilai persatuan dan kesatuan.
Seiring dengan berjalannya waktu, dalam era serba modern ini, bangsa Indonesia telah tumbuh menjadi bangsa yang berkembang maju. Namun, tetap juga dalam perjalanannya bangsa ini masih dihadapkan pada hambatan serta tantangan untuk kedepannya. Semua rintangan tersebut muncul tidak hanya dari internal saja, tetapi bercampur aduk dengan masalah-masalah yang sifatnya ekternal. Mulai dari masalah perekonomian, sosial, budaya, perbedaan Ras, suku, adat- istiadat, agama, krisis moneter, utang luar negeri, sumber daya manusianya, kekayaan alam Indonesia bahkan hingga masalah pertumpahan darah seperti, perang saudara di berbagai pelosok penjuru tanah air, terjadinya berbagai peristiwa peledakan bom serta munculnya berbagai berita entah itu dari televisi, surat kabar, atau radio yang memberitakan serupa bahwa Indonesia ialah salah satu sarang teroris Internasional dan belum lagi masalah yang berkenaan dengan krisis moral bangsa Indonesia. Nah, semua masalah tersebutlah yang tetap menjadi PR buat kita bersama khususnya bagi rakyat Indonesia, bagaimana seharusnya kita dapat membawa memaknai peringatan Hari Pahlawan 10 November, guna memperbaiki serta menyelesaikan masalah-masalah itu terutama yang berkenaan langsung dengan watak dan moral bangsa. Karena apabila kita amati secara seksama, sesunguhnya ujung pangkal dari munculnya berbagai masalah itu ialah terjadinya krisis moral rakyat Indonesia yang berkepanjangan. Akankah semangat peringatan Hari Pahlawan dapat memperbaiki bangsa ini?
NOSTALGIA YANG TAK PERNAH TERLUPAKAN
Dalam mengenang arti Hari Pahlawan 10 November sudah sepatutnyalah kiranya bahwa kita memandang peristiwa itu sebagai tahap yang penting dalam perjalanan jauh bangsa kita. Dan alangkah panjangnya, long march yang harus ditempuh Indonesia, untuk melahirkan republik ini. Kalau kita resapi kembali secara mendalam perjalanan bangsa Indonesia menuju proklamasi kemerdekaan, maka kelihatan sekali betapa berharganya peristiwa itu. Begitu banyak orang dari berbagai suku, agama, asal, keturunan ras, keyakinan politik, telah ambil bagian dalam long march yang jauh ini, dengan pengorbanan mereka yang tidak sedikit, serta dengan pertumpahan darah, mereka buktikan semuanya atas kecintaannya terhadap bangsa.
Kalau dilihat dari berbagai segi, pertempuran besar-besaran dan gagah berani yang dilancarkan oleh pemuda dari beraneka-ragam suku bangsa di Surabaya dengan dukungan luas dari rakyat Indonesia, sungguh merupakan tragedi yang patut dijadikan sebuah kenangan, pelajaran dan pendidikan. Karena itu, sudah benarlah bahwa peristiwa ini dijadikan sebagai hari besar bangsa, yaitu Hari Pahlawan. Bukan saja bahwa pertempuran Surabaya telah menjadi obor dan sumber semangat bagi berkorbarnya api pertempuran diberbagai daerah lainnya di Indonesia, tetapi juga merupakan suatu peristiwa yang kemudian menarik perhatian dunia terutama diplomatik internasional. Singkatnya, bahwa tanggal 10 November 1945 adalah bentuk nyata sebagai tekad kolektif untuk membela dan mempertahankan republik Indonesia.
Selama ini banyak orang bicara tentang Hari Pahlawan, tanpa pada umumnya mengerti bahwa hari pahlawan sesungguhnya ialah moment yang revolusioner. Bagaimana tidak, dalam jangka lama pertempuran Surabaya dapat mengakibatkan sebagai sumber inspirasi perjuangan bagi seluruh negeri. Berkat peran Bung Karno, maka sebelum orde baru berkuasa, perayaan hari pahlawan selalu dikaitkan erat dengan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Bung Karno telah menjadikan hari pahlawan sebagai sumber inspirasi perjuangan, sebagai sarana untuk pendidikan politik dan patriotisme, sebagai penghargaan terhadap tokoh-tokoh dari berbagai suku, agama dan keyakinan politik yang telah berjuang untuk kepentingan rakyat. Harus kita ingat bersama bahwa api revolusioner perjuangan rakyat melawan kolonialisme, imperialisme, dan penindasan adalah jiwa Hari Pahlawan yang sesungguhnya.
Arti Hari Pahlawanan 10 November
Disudut perkampungan yang jauh disana ada sekelompok anak-anak kecil yang sedang bersukaria mengikuti sebuah acara dari rangkaian kegiatan perayaan Hari Pahlawan. Pemandangan seperti ini tidak hanya kita jumpai di tempat itu bahkan hampir di seluruh pelosok negeri, mungkin dalam waktu yang bersamaan pula mereka juga mengadakan berbagai macam kegiatan yang serupa.
Tidak sedikit diantara mereka dalam menyambut peringatan ini dengan sangat semarak dari sejak mengadakan berbagai macam perlombaan, baik dalam bentuk olahraga, maupun kesenian, dan lainnya. Bahkan tidak sedikit diantara dari mereka yang belum merasa sempurna jika perayaan kemerdekaan negeri ini tidak ditutup dengan pesta hiburan rakyat, sebagai puncak dari semua kegiatan.
Dari cerita tersebut, patutlah kita acungkan jempol. Karena dari situlah masyarakat Indonesia pun masih mengingat selalu akan jasa-jasa serta kenangan-kenangan para pejuang yang telah gugur membela hak bangsa ini untuk memperoleh kemerdekaannya.
Selain itu pula, rakyat pun tak akan dapat melupakan bagaimana jirih payah serta usaha para pahlawan bangsa ini yang gigih dan pemberani melawan para penjajah. Mereka selalu mengenang arti sebuah nilai perjuangan.
Kebesaran arti pertempuran Surabaya, yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan, bukanlah hanya karena bagitu banyaknya pahlawan baik yang dikenal maupun tidak dikenal yang telah mengorbankan diri demi nusa dan bangsa. Bukan pula hanya karena lamanya pertempuran secara besar-besaran dan besarnya kekuatan lawan. Di samping itu semua, kebesaran arti pertempuran Surabaya juga terletak pada peran dan pengaruhnya, bagi jalanya revolusi waktu itu. Pertempuran Surabaya juga telah dapat mempengaruhi rakyat banyak untuk ikut serta, baik secara aktif maupun secara pasif, dalam berjuang melawan musuh bersama pada waktu itu.
Ciri utama berbagai perjuangan yang meletus di banyak kota dan daerah di Indonesia adalah bahwa peristiwa-peristiwa itu mendapat dukungan besar moral dan material dari rakyat, yang berarti juga telah menggugah rasa kebersamaan patriotik dalam perjuangan.
Dalam merenungkan kembali pertempuran Surabaya, 10 November 1945 (dan juga pertempuran lainnya yang terjadi di berbagai tempat di negeri kita) maka tergambarlah dalam memori kita, betapa indahnya suasana revolusi ketika itu, sewaktu nilai patriotisme dijunjung tinggi dan semangat rela berkorban demi kepentingan rakyat dan bangsa menjadi kebanggaan tersendiri. Suasana revolusi pada saat itu juga telah mampu menyumbangkan pendidikan watak dan moral yang besar bagi banyak orang dan terutama untuk kemajuan bersama.
Maka patutlah kiranya kita tetap menyimpan kenangan manis itu semua, sebagai simbol dari kakayaan sejarah bangsa. Dan kita harus selalu menyimpan harapan bahwa bangsa kita akan bisa menemukan kembali arah besar yang sudah ditunjukkan oleh para pejuang perintis kemerdekaan dan para pahlawan yang telah mendahului kita.
Rakyat pun Turut Ambil Bagian
Alangkah baiknya dalam sela-sela peringatan Hari Pahlawan atau peringatan-peringatan hari kemerdekaan yang serupa, ialah satu hal yang mesti dipertanyakan kembali lantaran seringkali terlupakan adalah peran dan kedudukan rakyat. Akankah keadilan selalu dijunjung tinggi bagi rakyat? Sungguhkah aspirasi rakyat tersalurkan dalam kursi pemerintahan? Masihkah pemerintah peduli akan kehidupan rakyat? Nah, berbagai macam pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena kemerdekaan diproklamasikan atas nama rakyat, cermin kehendak rakyat dan dipertahankan oleh dan untuk rakyat semata.
Dilihat dari sebuah perjuangannya, sumbang sih rakyat tak kalah besarnya dengan para tentara yang mengangkat senjata sebagai serdadu atau gerilya, rakyat pun juga turun tangan dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sangatlah adil apabila dewasa ini pada abad yang katanya sudah maju, rakyat kembali mempertanyakan dan menggugat kedudukanya terutama dengan berbagai kisah tragis yang menimpa mereka, seperti kemiskinan, mahalnya kebutuhan hidup, ketidakadilan, kesenjangan sosial, ketidakpuasan serta berbagai macam problema yang selalu datang melanda hidup mereka.
Dalam cerita-cerita di medan perjuangan, keterlibatan rakyat adalah nyata. Partisipasi, peranan dan keterlibatan rakyat dalam merintis, memproklamirkan, mempertahankan serta memajukan negeri ini tidak bisa gampang hanya dipandang sebelah mata saja.
Ada mungkin beberapa orang atau anggota masyarakat yang berpendapat beda bahwa “pahlawan itu bukannya dari kalangan rakyat, namun pahlawan ialah dari kalangan militer semata,”anggapan-anggapan seperti inilah yang harus kita kita benarkan serta kita luruskan. Karena apa? Karena, bila kita hanya memandang arti pahlawan itu dari kalangan militer semata, kita harus ingat bahwa kemerdekaan bangsa ini juga tidak lepas dari tangan rakyat yang juga turut banyak sekali membantu. Oleh karena itu, opini-opini yang bertentangan itu harus kita benarkan kembali demi tercapainya tujuan dan keutuhan persatuan bangsa.
Cerita rakyat adalah cerita tentang gambaran kehidupan yang penuh keikhlasan, pahit getirnya hidup serta kesadaran akan dirinya, sebagai rakyat bawah, serta rakyat kecil. Mareka tidak pernah menuntut apa-apa, tertutama minta disebut dan dihargai sebagai pahlawan.
Mestinya, peran dan kedudukan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak boleh diterlantarkan. Sebuah negara besar tidak mungkin ada tanpa rakyat. Sedangkan jika kita melupakan itu semua, yaitu melupakan keberadaan rakyat, maka kita semua termasuk orang yang tak tahu diuntung dan tak tahu akan balas budi serta termasuk orang-orang yang tak tahu berterima kasih.
MEWUJUDKAN WATAK DAN MORAL BANGSA
Bangsa Indonesia tidak hidup dalam kevakuman. Namun, hidup dalam jaringan nilai-nilai, kebiasaan, dan gagasan-gagasan yang sejak dulu telah tumbuh dan berkembang dalam jiwa sanubari bangsa Indonesia yang disebut dengan kebudayaan di mana nilai-nilai moral dan karakter Pancasila digali di dalamnya. Pembangunan karakter bangsa harus memperhatikan secara sungguh-sungguh budaya bangsa Indonesia (Arya Sunu, 2004)
Karakter bangsa Indonesia yang membentuk jati diri bangsa ini bukanlah sebuah warisan yang ditemukan ataupun jatuh dari langit begitu saja. Melainkan sebuah konstruksi sosial, intelektual, dan ideologis yang diciptakan, dibangun dan diperjuangkan dengan membangkitkan aspek-aspek emosional kebangsaan bangsa.
Sebab, sebelum lahir apa yang disepakati sebagai bangsa dan negara Indonesia, masyarakat lahir dan tumbuh dalam komunitas lokal yang masing-masing memiliki jati diri, tradisi, bahasa, ruh, dan pemimpin yang lahir dari kalangan mereka sendiri.
Jati diri atau identitas bangsa Indonesia ditentukan oleh hasil aktualisasi nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai budaya bangsa ini adalah seperangkat nilai yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan substansi falsafah pancasila.
Sedangkan penentuan kepribadian bangsa sebagai karakter bangsa yang khas adalah hasil pengembangan budaya, rajutan nilai budaya lokal dan nasional yang dihidupi oleh masyarakat Indonesia. Kebudayaan adalah ruh bangsa yang juga merupakan jati diri bangsa. Tinggi rendahnya martabat bangsa sangatlah ditentukan oleh tinggi rendahnya budaya dalam aspek permasalahan suatu bangsa.(Sri Sultan Hamengku Buwono X, 2004)
Seperti apa yang telah dikatakan atau diuraikan oleh tokoh-tokoh kita tersebut diatas, jelas sekali bahwa dalam membentuk suatu karakter moral bangsa, banyak sekali permasalahan-permasalahan yang patut kita perhatikan. Yaitu berkenan dengan nilai khasanah budaya bangsa. Karena, karakter serta moral bangsa inilah yang nantinya diharapkan dapat membentuk jati diri atau identitas sebuah bangsa sendiri.
Apabila kita lihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan masyarakat, seperti banyaknya tindak pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, penculikan serta tindakan asusila lainnya yang begitu banyak. Kesemuanya itu bila kita pikirkan bersama adalah akibat dari terjadinya penurunan moral manusia.
Fenomena kekerasan yang belakangan ini marak terjadi di Indonesia sungguh patut menjadi perhatian kita semua. Meskipun bangsa Indonesia telah memiliki landasan moral, yakni “moral pancasila.” Namun, menurut catatan sejarah fenomena kekerasan di negeri ini telah dimulai sejak negara RI berdiri. Pada awal periode, pemerintahan berkali-kali terjadi pergantian perdana menteri yang diwarnai aksi kekerasan pula. Peristiwa G 30 S PKI, pemberontakan APRA, Pemeberontakan DI/TII, tragedi Kedung Ombo, Tanjung Periuk, Sampit, Maluku, Kudatuli, perebutan Papua, Timor-Timur, tragedi Aceh, dan lainnya. Sungguh masalah yang amat memprihatinkan. Yang terpenting lagi, tindak kekerasan ini juga turut dilakukan oleh oknum-oknum yang juga menjadi peletak dasar-dasar moral pancasila.
Misalkan saja, dalam masa-masa sekarang ini setelah selesainya pemilu tahun 2004, yang merupakan tolak ukur pembangunan bangsa kita, dimana dengan terpilihnya seorang pemimpin yang diharapkan dapat benar-benar membangun kembali bangsa ini terutama dalam membangun sebuah karakter watak dan moral bangsa.
Ketika itu seiring dengan adanya pemilu ini, muncullah suatu kebudayaan yaitu kampaye pemilu. Akan tetapi, efen-efen ini justru malah disalahgunakan sebagai ajang sebagai perusakan norma-norma di masyarakat kita. Bagaimana tidak? Para pemimpin parpol dan para peserta kampanye sudah tidak mengindahkan lagi etika moral dan etika sosial. Bahkan agama, ras dan suku bangsa pun sudah dijadikan sebagai tumbal dari penyimpangan etika moral ini.
Norma atau kaidah yang lazimnya disebut sebagai nilai moral yang mengatur diri pribadi manusia Indonesia sudah tidak sepadan lagi dengan akal pikiran dan hati mereka.
Bagi bangsa Indonesia derajat kepribadian atau wataknya sangat ditentukan oleh nilai-nilai moral yang berlandaskan Pancasila. Dengan demikian tujuan moral bagi bangsa adalah “memberikan arahan gerak atas pengamalan Pancasila dalam pembangunan, sekaligus sebagai perwujudan harkat dan martabat kepribadian luhur bangsa Indonesia (Sudomo, 1990)
Pernah dalam ceramahnya Mochtar Lubis, seorang jurnalis membuat gebrakan yang menggemparkan dalam ceramahnya, mengenai profil manusia Indonesia yang terdapat paling sedikit tujuh ciri manusia Indonesia yang salah satunya ialah “Segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatan, putusan dan pikirannya, atau sering mengalihkan tanggungjawab tentang suatu masalah dan kegagalan kepada orang lain.”
Memang benar apa yang telah di katakan oleh beliau. Beliau mengatakan hal ini secara keseluruhan, memang sesuai dengan apa yang terjadi di dalam negara ini. Namun pernyataan ini mengingatkan semua pihak mengenai adanya watak dan moral yang sangat dikhawatirkan terjadi pada bangsa Indonesia secara menyeluruh dan menjadi penyakit sosial yang dapat merusak mentalitas manusia Indonesia.
TANTANGAN PERJUANGAN BANGSA INDONESIA
Genap berumur 59 tahun sudah lamanya bangsa Indonesia merdeka. Dalam sebuah pintu panantian ini, masih saja bangsa kita dihadapkan pada berbagai macam persoalan sebagai hambatan dan tantangan kehidupan perjalanan bangsa. Krisis ekonomi yang telah lama melanda Indonesia masih belum juga menemukan titik terang. Serta bertumpuknya hutang-hutang luar negeri semakin mempengaruhi citra nama baik bangsa Indonesia di mata dunia. Adanya penurunan nilai mata uang Rupiah terhadap dolar juga berimbas pada perekonomian kita. Ditambah lagi dengan banyaknya korban yang tak bersalah mati begitu saja dikarenakan ada ledakan bom dimana-mana. Terjadinya kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, krisis sumber daya alam, praktek nepotisme, kolusi, korupsi di dalam kursi pemerintahan, adanya jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar yang seharusnya menjadi modal dasar berharga, namun belum efektif keberadaannya. Serta berbagai macam problematika seperti masalah sosial, agama, golongan, pendidikan, adanya tingkatan sosial di masyarakat.
Semuanya itu merupakan bukti nyata bagi kita semua, bahwa betapa sulitnya mengarungi kehidupan ini. Pasti ada saja segala rintangan dan hambatan di depan kita yang siap menghadang laju perkembangan bangsa Indonesia.
Terjadinya dekadensi moral dunia yang dibawa oleh arus globalisasi yang dapat merubah nilai-nilai moral, menjadi suatu dilema tersendiri bagi Indonesia. Kita bisa bayangkan bahwa bagaimana seandainya bila rakyat Indonesia terimbas pada faktor eksternal seperti ini. Tentu dikhawatirkan nantinya akan terjadi suatu penurun nilai moral rakyat Indonesia (krisis Moral) akibat datangnya arus tersebut.
Kita semua tahu pamerintah memang telah berusaha keras untuk dapat membangun, mengembangkan dan memajukan bangsa Indonesia supaya menjadi bangsa yang makmur. Akan tetapi, dilain pihak lihat saja para penguasa kita yang duduk di kursi pemerintahan mereka memang sedang berfikir serta bekerja keras untuk mengambil langkah serta mengambil keputusan yang terbaik bagi bangsa agar Indonesia dapat lebih maju lagi. Sayangnya, pemerintah pun lupa sendiri akan masalah-masalah yang mungkin harus cepat diatasi yaitu masalah yang berkenaan dengan adanya penurunan watak serta moral bangsa Indonesia.
Apabila kita amati, pemerintah pun hanya berotak-atik saja pada masalah perekonomian bangsa ini. Memang betul, bahwa perekonomian Indonesia harus segera diperbaiki, karena bagaimana pun kita sebagai rakyat hanya dapat berharap bahwa perekonomian di bangsa ini cepat bisa teratasi agar tidak lagi terjadi masalah-masalah seperti krisis moneter, utang luar negeri dan lainnya. Namun, apakah tidak berdosanya kita, apabila sebagai rakyat yang cinta pada negeri ini, membiarkan begitu saja melihat negara kita tertimpa suatu masalah yang langsung berhubungan dengan moral, watak serta etika sumber daya manusia bangsa Indonesia, yang dapat menggerogoti jiwa, akhlak, pribadi serta nilai budi pekerti manusia Indonesia itu sendiri.
Menurut Bapak Poespowardojo, 1989 dampak lain dari pembangunan yang terlalu diorientasikan pada bidang perekonomian adalah terdesaknya harkat dan martabat manusia oleh alat-alat ekonomi dan materi. Serta hal ini justru akan dikhawatirkan dengan timbulnya sifat mental rakyat Indonesia yang lebih menghargai materi, benda, sarana serta prasarana dengan pendekatan kuantitatif. Dan juga dikhawatirkan pula hal ini akan dapat munculkan sifat yang materialistis, kurang percaya diri, lemah mentalitas, serta semakin mendangkalnya nilai etis dan spiritual. Dengan demikian dapat terjadinya disintegrasi dan kesejangan sosial yang lebih ditentukan oleh materi yang dapat menghambat tumbuhnya nilai persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia.
Dalam memperingati Hari Pahlawan pada tahun 2004 ini, bangsa ini haruslah juga mau berinstropeksi diri berkenaan dengan masalah yang sedang dihadapi oleh negaranya. Apabila kita lihat para pejuang 45 yang telah sekuat tenaga, bahu-membahu, saling tolong-menolong, adanya sikap tepo seliro tanpa membedakan HAM, ras, agama yang telah mengorbankan jiwanya dengan dilandasi rasa persatuan dan kesatuan yang kuat untuk melawan penjajah dengan hanya satu tujuan yaitu merdeka atau mati.
Sedangkan sekarang bangsa Indonesia pun berpecah belah. Dengan adanya berbagai macam ledakan bom di berbagai tempat di segala penjuru tanah air, yang berimbas pada menurunnya nilai persatuan dan kesatuan rakyat. Dimana antara satu dengan lainnya saling menyalahkan, terjadinya perselisihan antar umat beragama, disintergrasi pada golongan tertentu serta lain-lain. Mungkin semuanya itu disebabkan karena terjadinya krisis moralitas bangsa yang terjadi pada sumber daya manusia Indonesia sendiri. Yang berakibat pula pada krisis sosial seperti krisis nilai-nilai, adanya kesenjangan sifat keteladanan, kurangnya sikap idealisme dan citra generasi muda tentang peranannya bagi masa depan bangsa serta makin bergesernya sikap manusia ke arah pragmatis yang dapat membawa ke sifat materialisme dan individualisme yang tinggi.
Maka dari itu, kita semua yang termasuk bagian dari rakyat Indonesia bersama-sama dengan pemerintah seharusnya dapat membanting setir untuk dapat memperbaiki problematika ini. Yaitu dengan menggerakkan kembali program pemerintah yang berupa Pembangunan Watak dan Moral Pancasila (PWMP). Metode operasional ini harus diterapkan antara lain sebagai berikut :
Edukatif dan Reedukatif, maksudnya melakukan pendidikan kepada setiap obyek sasaran. Metode Edukatif dilakukan pada lembaga formal dan masyarakat luas untuk memperkenalkan dan mengembangkan pengetahuan dan akal budi. Sedangkan metode reedukatif diterapkan pada orang dewasa, yang diharapkan menjadi agen-agen perubahan.
Sifat Keteladanan yaitu menularkan sikap dan perilaku yang baik secara konsisten, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, agama, pendidikan, dan negara.
Metode Kekuasaan yaitu, terutama menyangkut penggunaan daya dan kewenangan pemerintah dalam melakukan penegakan hukum, disiplin nasional, serta bentuk-bentuk lainnya.
Metode persuasi dan Komunikasi yaitu, memberikan ajakan, himbauan, dorongan dan motifasi kepada seseorang, kelompok dan masyarakat luas, sehingga tumbuh watak dan moral yang diharapkan.
Nah, apabila langkah-langkah tersebut dapat kita terapkan bersama tentunya dengan dilandasi sifat tanggung jawab, kepedulian, rasa iba, rasa mencintai, tidak pantang menyerah serta sifat percaya dan dengan dijiwai semangat pahlawan ada di hati kita insya’ Allah tujuan kita untuk memperbaiki watak dan moral bangsa Indonesia yang berhubungan langsung dengan nilai persatuan dan kesatuan akan terwujud tentunya juga dengan selalu bersumber pada nilai-nilai luhur Pancasila.








 

Koperasi Indonesia Sebagai Soko Guru Perekonomian Nasional


KOPERASI INDONESIA SEBAGAI SOKO GURU PEREKONOMIAN NASIONAL
Oleh : Anhar Adhi Firdaus
Di Indonesia, mungkin unit usaha yang paling tepat banyak mendapat julukan adalah koperasi. Julukan itu begitu mulia “soko guru perekonomian Indonesia”, “tulang punggung ekonomi Indonesia”, dalan lain-lain. Namun uniknya, kendati mendapat julukan-julukan mulia dan disebutkan dalam konstitusi, ternyata koperasi Indonesia selama setengah abad lebih kemardekaanya, tidak menunjukkan perkembangan yang mengembirakan. Ia tetap saja hanya ada dibibir para pejabat pemerintah, dan tidak tampak di permukaan sebagai “bangun perusahaan” yang kokoh dan mampu sebagai landasan (fundamental) perekonomian, serta dalam sistem ekonomi Indonesia, koperasi berada pada sisi marjinal.
Banyak sekali masalah-masalah yang belum terselesaikan, di dalam kubu koperasi kita. Inilah yang patut kita cermati bersama, karena bila berbagai masalah ini hanya kita diamkan saja, akan banyak sekali masalah yang menumpuk sehingga dapat mengganggu kelangsungan kehidupan perkoperasian di Indosnesia. Selain itu, banyak sekali peluang dan tantangan perkoperasian Indonesia dimasa depan. Oleh karena itu, kita harus mampu memajukan dan mengembangkan perkoperasian kita, agar tetap menjadi soko guru perekonomian Indonesia pada khususnya.
A.Peluang dan tantangan di Masa Depan
Setiap kali memperingati Hari Koperasi, pertanyaan yang sering kali dikemukakan adalah benarkah koperasi masih menjadi soko guru perekonomian nasional?. Koperasi tampaknya masih belum mampu memberikan warna bagi perekonomian nasional. Koperasi hanya dipahami sebagai gagasan atau ideology ekonomi, yang dalam praktiknya tidak menjadi dasar dalam pembangunan ekonomi nasional.
Umumnya koperasi tidak mampu berkembang dengan baik seperti yang diharpkan. Sebab, sebagai badan usaha koperasi memikul beban sosial yang amat besar. Koperasi merupakan sebuah idealisme ekonomi yang diperjuangkan oleh pendiri publik ini untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Orientasi koperasi tidak sekedar untuk mencari keutungan dirinya sendiri secara kelambagaan, akan tetapi lebih mengutamakan kepentingan ekonomi anggotanya.
Untuk menggapai peluang itu dan menempatkan kembali koperasi sebagai “soko guru” diperlukan perubahan yang radikal (mengubah dari akar masalah) dan komprehensif. Penyelesaian persoalan koperasi tidak hanya pada satu sisi (misalnya hanya pada aspek permodalan saja), tanpa memandang persoalan perkoperasian sebagai masalah sistemik, tidak akan membawa perubahan berarti bagi koperasi dan gerakan koperasi.
Yang harus dibenahi segera adalah; Pertama, reorientasi dan reorganisasi. Pemikiran koperasi bahwa koperasi adalah “ekonomi lemah” harus dibuang. Koperasi harus berdiri tegak sebagai bangun perusahaan yang mandiri (independen) dan efisien. Kedua, reaktualisasi peranan sumber daya manusia, adalah program dalam pengorganisasian koperasi. Ketiga, pembenahan sistem ekonomi Indonesia, sehingga kembali kepada cita-cita didirikannya Republik Indonesia.
Tantangan koperasi dimasa depan, adalah kompetisi yang ketat. Modalnya adalah efisien usaha. Koperasi tidak dapat selamanya bergantung pada fasilitas pemerintah dan “kemurahan hati “ konglomerat. Dengan demikian koperasi mampu bangkit menuju “ sebesar-besarnya keakmuran rakyat”.
B.Mengoptimalkan Demokrasi Ekonomi
Menjelang dasawarsa tahun 1980-an, konsep “Demokrasi Ekonomi”muncul secara tiba-tiba di cakrawala pemikiran pembangunan sebagai suatu gagasan “baru”. Meskipun Widjoyo Nitisastro pada tahun 1966 menyatakan bahwa “Demokrasi ekonomi bukanlah hal baru, melainkan telah terdapat dalm penjelasan undang-undang dasar 1945 yaitu istilah yang menggambarkan suatu gagasan tentang susunan perekonomian Indonesia berdasarkan asas kekeluargaan yang tidak mengenal pertentangan kelas.”
Konsep demokrasi ekonomi dikemukakan pada tahun 1966 sebagai kritik terhadap ekonomi terpimpin yang dinilai pelaksanaannya terjerumus kedalam kebiasaan yang lebih menonjolkan unsur terpimpinnya dari pada unsur ekonomi yang efisien sehingga menjerumus kepada etatisme. Konsep ini dimaksudkan untuk membawa orde ekonomi dari system “ekonomi komando” ke system “ekonomi pasar” yaitu suatu orde ekonomi yang lebih mendasarkan diri pada prinsip-prisip ekonomi yang rasional dan efisien.
Namun dalam era sekarang ini, justru konsep “demokrasi ekonomi” ini lambat laun mulai hilang, pemerintah sebagai agen pembangunan dan modernisasi selalu berusaha bersikap tertutup dan menghindar berkenaan dengan masalah ekonomi.
Prinsip-prinsip demokrasi ekonomi ditandai dengan adanya system pintu terbuka, kebebasan berusaha, persaingan bebas, mendasarkan diri pada mekanisme pasar dan seterusnya, akan tetapi hal ini cenderung sangat sekali dibatasi oleh pemerintah, sehingga pemerintah hanya bersikap tertutup akan beberapa masalah ini.
Peranan pemerintah, dalam gagasan demokrasi ekonomi itu dikatakan “sejauh mungkin tidak menguasai segala sesuatu, tapi memberikan pengarahan dan mendorong pembangunan,” disamping itu tentu saja melaksanakan proyek-proyek pembangunan, baik yang sifatnya fisik maupun non fisik.
Oleh karena itu, gagasan diatas perlu ditegaskan lagi dan perlu diarahkan kembali, agar pemerintah tidak berbelok haluan dalam melaksanakan tugasnya itu.
Tulang Punggung Perekonomian Bangsa
Pemerintah dan rakyat Indonesia mempunyai kewajiban untuk menggali, mengolah dan membina kekayaan alam, guna mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam hal ini, perkembangan koperasi erat sekali hubungannya dengan sasaran intern untuk memperbesar kemampuan dan ketahan koperasi supaya dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Saluran yang efektif untuk mencapai sasaran tersebut ialah management yang merupakan inti dari seluruh aktivitas dalam koperasi. Cara yang paling baik untuk mencapai sasaran itu ialah dengan jalan penerangan, pendidikan dan pengawasan yang intensif.
Rakyat Indonesia bercita-cita membangun ekonomi nasionalnya yang akan membawa kemakmuran serta kesejahteraan tidak hanya untuk satu orang atau satu golongan saja. Akan tetapi, kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat seluruhnya.
Oleh karena itu, rakyat Indonesia harus bertekat bulat mewujudkan demokrasi ekonomi. Yaitu dengan menjadikan koperasi gerakan rakyat Indonesia yan dijiwai oleh demokrasi ekonomi untul membawa kemakmuran serta kemajuan bersama. Seperti yang telah diungkapkan oleh Bung Hatta, bapak koperasi Indonesia bahwa, “Bangsa Indonesia hanya dapat mengakat dirinya dari lumpur kemiskinan, dari tekanan hidup, dan isapan kaum modal, jikalau ekonomi rakyat Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan koperasi.”
Koperasi merupakan soko guru perekonomian nasional karena koperasi memiliki metis sebagai berikut :
Koperasi merupakan penampung pesan politik bangsa terjajah yang miskin ekonominya dan didominasi oleh system ekonomi penjajah.
Koperasi adalah bentuk usaha yang bukan saja menampung, tetapi juga mempertahankan serta memperkuat identitas dan budaya bangsa Indonesia.
Koperasi adalah wadah yang tepat untuk membina golongan ekonomi kecil atau pribumi.
Koperasi adalah wahana yang tepat untuk merealisasikan ekonomi Pancasila terutama karena terpenuhinya tuntutan kebersamaan dan asas kekeluargaan. Dalam keseluruhan koperasi adalah kemakmuran rakyat sentries.
Menurut Sri Edi Swasono bahwa kita harus mengidentifikasi prakondisi atau syarat-syarat agar koperasi benar-benar dapat menjadi soko guru perekonomian diantaranya ialah :
Koperasi harus dapat masuk kedalam perekonomian nasional secara integraf, sehingga tidak saja menjadi obyek pembinaan ekonomi tetapi juga harus mampu menjadi obyek yang ikut menentukan kegiatan perekonomian secara strategis.
Adanya tekat politik yang konsekuen dari seluruh pelaku ekonomi untuk melaksanakan pesan konstitusional menyusun ekonomi Pancasila.
Berhasil dipupuk dan ditingkatkan kesadaran akan makna koperasi dan kesadaran untuk berkoperasi.
Mengiat rakyat masih banyak kurang pengetahuannya mengenai koperasi, pengelolaannya maka sangat dirasakan perlu adanya pendidikan dan latihan. Untuk keperluan itu pemerintah harus menyediakan biaya. Pendidikan dan latihan ini diberikan secara teratur dan menurut keperluan anggota, pengurus, karyawan dan badan pemeriksaan koperasi itu sendiri. Kursus dan latihan ini diberikan dalam berbagai ilmu pengetahuan dan ketrampilan .
Tujuan dari memberikan pendidikan dan latihan ini tak lain untuk menghasilkan kualitas sumber daya manusia seluruh anggota koperasi yang unggul, produktif, berdaya saing tinggi, kreatif yang tentu saja dapat menbangun dan meningkatkan kinerja dan mutu koperasi hingga menjadikan koperasi sebagai “Soko Guru Perekonomian Indonesia.”

 

Koperasi Indonesia Sebagai Soko Guru Perekonomian Nasional


KOPERASI INDONESIA SEBAGAI SOKO GURU PEREKONOMIAN NASIONAL
Oleh : Anhar Adhi Firdaus
Di Indonesia, mungkin unit usaha yang paling tepat banyak mendapat julukan adalah koperasi. Julukan itu begitu mulia “soko guru perekonomian Indonesia”, “tulang punggung ekonomi Indonesia”, dalan lain-lain. Namun uniknya, kendati mendapat julukan-julukan mulia dan disebutkan dalam konstitusi, ternyata koperasi Indonesia selama setengah abad lebih kemardekaanya, tidak menunjukkan perkembangan yang mengembirakan. Ia tetap saja hanya ada dibibir para pejabat pemerintah, dan tidak tampak di permukaan sebagai “bangun perusahaan” yang kokoh dan mampu sebagai landasan (fundamental) perekonomian, serta dalam sistem ekonomi Indonesia, koperasi berada pada sisi marjinal.
Banyak sekali masalah-masalah yang belum terselesaikan, di dalam kubu koperasi kita. Inilah yang patut kita cermati bersama, karena bila berbagai masalah ini hanya kita diamkan saja, akan banyak sekali masalah yang menumpuk sehingga dapat mengganggu kelangsungan kehidupan perkoperasian di Indosnesia. Selain itu, banyak sekali peluang dan tantangan perkoperasian Indonesia dimasa depan. Oleh karena itu, kita harus mampu memajukan dan mengembangkan perkoperasian kita, agar tetap menjadi soko guru perekonomian Indonesia pada khususnya.
A.Peluang dan tantangan di Masa Depan
Setiap kali memperingati Hari Koperasi, pertanyaan yang sering kali dikemukakan adalah benarkah koperasi masih menjadi soko guru perekonomian nasional?. Koperasi tampaknya masih belum mampu memberikan warna bagi perekonomian nasional. Koperasi hanya dipahami sebagai gagasan atau ideology ekonomi, yang dalam praktiknya tidak menjadi dasar dalam pembangunan ekonomi nasional.
Umumnya koperasi tidak mampu berkembang dengan baik seperti yang diharpkan. Sebab, sebagai badan usaha koperasi memikul beban sosial yang amat besar. Koperasi merupakan sebuah idealisme ekonomi yang diperjuangkan oleh pendiri publik ini untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Orientasi koperasi tidak sekedar untuk mencari keutungan dirinya sendiri secara kelambagaan, akan tetapi lebih mengutamakan kepentingan ekonomi anggotanya.
Untuk menggapai peluang itu dan menempatkan kembali koperasi sebagai “soko guru” diperlukan perubahan yang radikal (mengubah dari akar masalah) dan komprehensif. Penyelesaian persoalan koperasi tidak hanya pada satu sisi (misalnya hanya pada aspek permodalan saja), tanpa memandang persoalan perkoperasian sebagai masalah sistemik, tidak akan membawa perubahan berarti bagi koperasi dan gerakan koperasi.
Yang harus dibenahi segera adalah; Pertama, reorientasi dan reorganisasi. Pemikiran koperasi bahwa koperasi adalah “ekonomi lemah” harus dibuang. Koperasi harus berdiri tegak sebagai bangun perusahaan yang mandiri (independen) dan efisien. Kedua, reaktualisasi peranan sumber daya manusia, adalah program dalam pengorganisasian koperasi. Ketiga, pembenahan sistem ekonomi Indonesia, sehingga kembali kepada cita-cita didirikannya Republik Indonesia.
Tantangan koperasi dimasa depan, adalah kompetisi yang ketat. Modalnya adalah efisien usaha. Koperasi tidak dapat selamanya bergantung pada fasilitas pemerintah dan “kemurahan hati “ konglomerat. Dengan demikian koperasi mampu bangkit menuju “ sebesar-besarnya keakmuran rakyat”.
B.Mengoptimalkan Demokrasi Ekonomi
Menjelang dasawarsa tahun 1980-an, konsep “Demokrasi Ekonomi”muncul secara tiba-tiba di cakrawala pemikiran pembangunan sebagai suatu gagasan “baru”. Meskipun Widjoyo Nitisastro pada tahun 1966 menyatakan bahwa “Demokrasi ekonomi bukanlah hal baru, melainkan telah terdapat dalm penjelasan undang-undang dasar 1945 yaitu istilah yang menggambarkan suatu gagasan tentang susunan perekonomian Indonesia berdasarkan asas kekeluargaan yang tidak mengenal pertentangan kelas.”
Konsep demokrasi ekonomi dikemukakan pada tahun 1966 sebagai kritik terhadap ekonomi terpimpin yang dinilai pelaksanaannya terjerumus kedalam kebiasaan yang lebih menonjolkan unsur terpimpinnya dari pada unsur ekonomi yang efisien sehingga menjerumus kepada etatisme. Konsep ini dimaksudkan untuk membawa orde ekonomi dari system “ekonomi komando” ke system “ekonomi pasar” yaitu suatu orde ekonomi yang lebih mendasarkan diri pada prinsip-prisip ekonomi yang rasional dan efisien.
Namun dalam era sekarang ini, justru konsep “demokrasi ekonomi” ini lambat laun mulai hilang, pemerintah sebagai agen pembangunan dan modernisasi selalu berusaha bersikap tertutup dan menghindar berkenaan dengan masalah ekonomi.
Prinsip-prinsip demokrasi ekonomi ditandai dengan adanya system pintu terbuka, kebebasan berusaha, persaingan bebas, mendasarkan diri pada mekanisme pasar dan seterusnya, akan tetapi hal ini cenderung sangat sekali dibatasi oleh pemerintah, sehingga pemerintah hanya bersikap tertutup akan beberapa masalah ini.
Peranan pemerintah, dalam gagasan demokrasi ekonomi itu dikatakan “sejauh mungkin tidak menguasai segala sesuatu, tapi memberikan pengarahan dan mendorong pembangunan,” disamping itu tentu saja melaksanakan proyek-proyek pembangunan, baik yang sifatnya fisik maupun non fisik.
Oleh karena itu, gagasan diatas perlu ditegaskan lagi dan perlu diarahkan kembali, agar pemerintah tidak berbelok haluan dalam melaksanakan tugasnya itu.
Tulang Punggung Perekonomian Bangsa
Pemerintah dan rakyat Indonesia mempunyai kewajiban untuk menggali, mengolah dan membina kekayaan alam, guna mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam hal ini, perkembangan koperasi erat sekali hubungannya dengan sasaran intern untuk memperbesar kemampuan dan ketahan koperasi supaya dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Saluran yang efektif untuk mencapai sasaran tersebut ialah management yang merupakan inti dari seluruh aktivitas dalam koperasi. Cara yang paling baik untuk mencapai sasaran itu ialah dengan jalan penerangan, pendidikan dan pengawasan yang intensif.
Rakyat Indonesia bercita-cita membangun ekonomi nasionalnya yang akan membawa kemakmuran serta kesejahteraan tidak hanya untuk satu orang atau satu golongan saja. Akan tetapi, kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat seluruhnya.
Oleh karena itu, rakyat Indonesia harus bertekat bulat mewujudkan demokrasi ekonomi. Yaitu dengan menjadikan koperasi gerakan rakyat Indonesia yan dijiwai oleh demokrasi ekonomi untul membawa kemakmuran serta kemajuan bersama. Seperti yang telah diungkapkan oleh Bung Hatta, bapak koperasi Indonesia bahwa, “Bangsa Indonesia hanya dapat mengakat dirinya dari lumpur kemiskinan, dari tekanan hidup, dan isapan kaum modal, jikalau ekonomi rakyat Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan koperasi.”
Koperasi merupakan soko guru perekonomian nasional karena koperasi memiliki metis sebagai berikut :
Koperasi merupakan penampung pesan politik bangsa terjajah yang miskin ekonominya dan didominasi oleh system ekonomi penjajah.
Koperasi adalah bentuk usaha yang bukan saja menampung, tetapi juga mempertahankan serta memperkuat identitas dan budaya bangsa Indonesia.
Koperasi adalah wadah yang tepat untuk membina golongan ekonomi kecil atau pribumi.
Koperasi adalah wahana yang tepat untuk merealisasikan ekonomi Pancasila terutama karena terpenuhinya tuntutan kebersamaan dan asas kekeluargaan. Dalam keseluruhan koperasi adalah kemakmuran rakyat sentries.
Menurut Sri Edi Swasono bahwa kita harus mengidentifikasi prakondisi atau syarat-syarat agar koperasi benar-benar dapat menjadi soko guru perekonomian diantaranya ialah :
Koperasi harus dapat masuk kedalam perekonomian nasional secara integraf, sehingga tidak saja menjadi obyek pembinaan ekonomi tetapi juga harus mampu menjadi obyek yang ikut menentukan kegiatan perekonomian secara strategis.
Adanya tekat politik yang konsekuen dari seluruh pelaku ekonomi untuk melaksanakan pesan konstitusional menyusun ekonomi Pancasila.
Berhasil dipupuk dan ditingkatkan kesadaran akan makna koperasi dan kesadaran untuk berkoperasi.
Mengiat rakyat masih banyak kurang pengetahuannya mengenai koperasi, pengelolaannya maka sangat dirasakan perlu adanya pendidikan dan latihan. Untuk keperluan itu pemerintah harus menyediakan biaya. Pendidikan dan latihan ini diberikan secara teratur dan menurut keperluan anggota, pengurus, karyawan dan badan pemeriksaan koperasi itu sendiri. Kursus dan latihan ini diberikan dalam berbagai ilmu pengetahuan dan ketrampilan .
Tujuan dari memberikan pendidikan dan latihan ini tak lain untuk menghasilkan kualitas sumber daya manusia seluruh anggota koperasi yang unggul, produktif, berdaya saing tinggi, kreatif yang tentu saja dapat menbangun dan meningkatkan kinerja dan mutu koperasi hingga menjadikan koperasi sebagai “Soko Guru Perekonomian Indonesia.”

 

Kencan dengan Si Duta Pariwisata


KENCAN DENGAN SI DUTA PARIWISATA…!!

Oleh Anhar Adhi Firdaus
Kudengar suara hiruk pikuk gunjingan kerumunan orang di warung nasi. Obrolan begitu santai, bebas, demokrasi, tidak ada undang-undang dan pasal-pasal tuli di situ. Dengan interior ala kadarnya. Pisang raja, kerupuk rambak, permen sugus, rempeyek, dan bermacam-macam gorengan palawija tertuangan dalam piring kaca yang kelihatan sudah retak dan agak berjamur. Beraneka ragam mulut ikut memeriahkan demokrasi warung nasi. Mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, seni, kriminal, sex, sawah, sepak bola, kantor, togel sampai tetek bengek lainnya yang tidak dapat dihitung dengan bilangan jari dua puluh ditambah satu jari tengah….(Demokrasi Warung Nasi oleh Sujud Cahyono, Bandung 1999)
Ku Pandang Kau Jauh Disana
Ku pandang kau jauh disana jauh..jauh..dan jauh sekali…??Yogya tempo dulu berbeda jauh dengan Yogyakarta zaman sekarang. Apabila kita mau berpaling sejenak, syair puisi di atas serupa dengan apa yang terjadi di dalam kehidupan kita di kota ini. Ketika 2 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2002 Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X, memutuskan brand yang digunakan DIY adalah Never Ending Asia. Untuk menjadikan Yogyakarta sebagai tujuan utama di Asia dalam bidang tourism, trade and investment dalam lima tahun kedepan. Inilah brand utama kota Yogya sebagai identitas dari kota yang penuh dengan sejarah ini.
Untuk terus melestarikan semboyan ini, diperlukan pengorbanan dan usaha yang sangat keras. Oleh karena itu, proses sosialisasinya pun tak lepas dari dukungan berbagai elemen masyarakat yang ada di kota ini. Berbagai ososiasi dan himpunan serta musisi, seniman dan budayawan yang tak lupa pula ialah seluruh warga masyarakat Yogya sendiri juga turut mensosialisasikan brand image ini. Di era informasi ini peranan media dalam mensukseskan kampanye pemasaran sangat penting. Maka salah satu pilar suksesnya sosialisasi Never Ending Asia adalah dukungan dari berbagai media massa.
Kota Yogyakarta sebagai salah satu kota yang berbudaya dan berbudi luhur, memiliki peranan yang sangat penting dalam usaha menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat dunia atas stabilitas keamanan dan ketertiban di Indonesia. Karena semenjak adanya kejadian berbagai macam ancaman bom, yang melanda di berbagai daerah di Indonesia ini, seperti di Jakarta dan Bali, terjadi penurunan omset pariwisata yang sangat drastis. Akibatnya para wisatawan baik itu mancanegara maupun dalam negeri sendiri masih takut apabila ingin berkunjung ke Indonesia. Sehingga berdampak pada pemasukan devisa di dalam negeri.
Dari masalah itulah Yogyakarta ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa stabilitas keamanan dan ketertiban di Indonesia sudah mulai aman dan terkendali, hal ini dapat dilihat dari naiknya animo wisatawan luar negeri maupun wisatawan nusantara untuk berkunjung ke Yogyakarta pada tahun ini. Melalui bidang pariwisa inilah, yang dapat memberikan konstribusi yang amat besar bagi perekonomian, khususnya bagi pemasukan anggaran otonomi daerah bagi kota Yogyakarta.
Secercah Harapan Dimasa Depan
Hampir kurang lebih 3 tahun sudah yaitu dari tahun 1946 hingga akhir tahun 1949, Yogyakarta pernah menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia. Pada masa itu, para pemimpin bangsa ini, berkumpul di kota perjuangan ini. Seperti layaknya sebuah kota yang berkembang pada masa itu, Yogyakarta pun memikat kedatangan kaum remaja dari seluruh penjuru tanah air. Mereka ingin dapat berpartisipasi bersama-sama membangun negara yang baru saja merdeka ini. Oleh karenanya, untuk membangun negara ini diperlukan tenaga-tenaga ahli, terdidik dan terlatih. Maka, Pemerintah RI kemudian mendirikan suatu lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan yaitu Universitas Gadjah Mada, yang merupakan universitas negeri pertama di kota itu. Pada waktu selanjutnya, berbagai jenis lembaga pendidikan negeri maupun swasta mulai bermunculan. Hal inilah yang telah menjadikan Yogyakarta tumbuh sebagai kota pelajar dan pusat pendidikan hingga sekarang.
Nah, seperti apa yang telah dikatakan di atas tadi, Yogyakarta selain sebagai kota yang berbudaya, bersejarah, juga dikatakan sebagai kota pelajar. Apabila kita bandingkan dengan kota-kota besar yang ada di Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung dan Makasar, kualitas pendidikan di Yogyakarta tidak kalah baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tampilnya putra-putri terbaik kota Yogyakarta sebagai wakil dari kota Yogya sendiri maupun sebagai wakil dari bangsa Indonesia untuk dapat unjuk gigi tampil mengharumkan nama Indonesia di berbagai kancah kejuaraan di luar negeri.
Berkat penelitian kripik bonggol Arko Jatmiko Wicaksono siswa SMA negeri 6 Yogyakarta diundang untuk mengikuti ASEAN Youth Day Meeting (ASEAN Youth Award Presentation 2004) di Brunei Darusalam. Selain itu pula, Sukma Pribadi siswa SMA Negeri 1 Wonosari beserta 4 siswi dari SMA Negeri 3 Yogyakarta yaitu Tabita O, Devi M, Sofia Imacullata dan Della Permata, kelima putra-putri kebanggaan kota Yogyakarta ini akan mengikuti seleksi nasional IBO (Internasional Biologi Olimpiade) di Batam tanggal 24-29 Agustus 2004 yang lalu. Juga, salah satu putri terbaik dari Yogyakarta yaitu Lisendra Marbelia siswi dari SMA Negeri 3 Yogyakarta berhasil meraih perunggu dalam International Chermistry Olympiad (IchO) atau Olimpiade Kimia Tingkat Dunia yang berlangsung di Kiel Jerman tanggal 17-26 bulan Juli yang lalu. Nah, hal inilah yang menandakan bahwa kota Yogyakarta juga mempunyai siswa-siswi yang berprestasi tak kalah dengan kota-kota lain di Indonesia. Itulah salah satu yang membuat kebanggaan tersendiri mengapa kota Yogyakarta pantas mendapat julukan sebagai kota pelajar ataupun kota pendidikan.
My Name is Yogyakarta
Kota Yogyakarta sebagai kota yang bersejarah, masih banyak sekali menyimpan rahasia-rahasia yang terpendam belum tergali semua untuk dapat ditunjukkan kepada Dunia. Situs-situs bersejarah seperti candi-candi dan arca-arca peninggalan kerajaan Mataram kuno atau peninggalan kerajaan lain, masih belum bisa diungkap semuanya. Oleh karena itu, hal inilah yang dapat menambah nilai positif bahwa Yogyakarta juga sebagai salah satu obyek pariwisata kesejarahan, selain sebagai kota yang berbudaya, kota pelajar dan kota gudeg.
Citra inilah yang dapat membawa Yogyakarta guna tampil dimata dunia untuk memperkenalkan keanekaragaman serta kebudayaan pariwisata yang ada di Yogyakarta, salah satunya ialah obyek pariwisata kesejarahan.
Dalam bukunya yang berjudul Pariwisata Indonesia, Sejarah dan Prospeknya DR. James J. Spilline mengungkapkan bahwa Pariwisata adalah kegiatan melakukan perjalanan dengan tujuan mendapatkan kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki kesehatan, menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan tugas, dan berziarah. Sedangkan wisatawan adalah orang yang berpergian dari tempat tinggalnya untuk berkeunjung ke tempat lain dengan menikmati perjalanan dari kunjungannya itu.
Dalam bukunya ini, Spilline membagi pariwisata atas enam jenis khusus, yaitu pariwisata untuk menikmati perjalanan, pariwisata untuk rekreasi, pariwisata untuk kebudayaan, pariwisata untuk olahraga, pariwisata untuk urusan usaha dagang, dan pariwisata untuk berkonvensi.
Salah satunya ialah pariwisata untuk kebudayaan. Hal ini ditandai dengan serangkaian motivasi seperti keinginan belajar di pusat riset, mempelajari adat-istiadat, mengunjungi monumen bersejarah dan peninggalan purbakala dan ikut festifal seni musik serta lain-lain.
Untuk itulah Daerah Istimewa Yogyakarta ini, haruslah terus selalu berusaha mengembangkan salah satu aset berharganya yaitu obyek pariwisata kesejarahan. Agar dapat terus dilindungi dan dilestarikan keberadaannya sebagai bagian dari salah satu obyek pariwisata di kotaYogya.
Pembangunan dibidang pariwisata inilah diharapkan mampu meningkatkan kehandalan pariwisata sebagai modal dasar yang kuat dalam membangun perekonomian daerah dengan melibatkan masyarakat banyak sebagai subjek atau pelaku usaha. Dalam kaitan ini sumberdaya manusia dan sumberdaya pariwisata menjadi komponen unggulan dalam pembangunan ekonomi di DIY.
Seperti apa yang telah dikatakan oleh bapak Nur Achmad Affandi, selaku wakil ketua DPRD propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bahwa visi pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta sampai tahun 2008 adalah terwujudnya daerah tujuan wisata andalan yang aman, nyaman, kompetitif, mudah untuk dikunjungi, serta memberikan konstribusi positip bagi masyarakat dan daerah.
Pembangunan pariwisata memiliki karakter dan sifat interdepedensi atau memiliki keterkaitan lintas sektoral, spasial, structural multi dimensi, dan interdisipliner, yang bertumpu pada masyarakat sebagai kekuatan dasar. Pada hakikatnya pembangunan kepariwisataan bertumpu pada keunikan, kekhasan, dan kelokalan, sehingga menempatkan kebhinekaan sebagai sesuatu yang hakiki.
Di Yogyakarta sendiri banyak sekali obyek-obyek wisata yang masih harus terus dilestarikan keberadaannya. Seperti halnya dengan obyek wisata Kota Gede, yang letaknya disebelah tenggara Yogya merupakan kota kuno kerajaan Mataram. Selain itu wisatawan yang berkunjung kesana dapat menyaksikan proses pembuatan kerajinan perak dan juga membelinya sebagai buah tangan atau cinderamata bagi keluarga maupun sahabatnya.
Selain itu dapat disaksikan pula bangunan-bangunan tua sebagai saksi sejarah pernah adanya kerajaan Mataram Islam di daerah ini sebelum dipindahkan, misal gerbang-gerbang kraton, atau kompleks makam Sapto Renggo atau lebih sering disebut makam kota gede. Itulah hanya merupakan salah satu dari berbagai macam obyek pariwisata kesejarahan ini.
Selain Kota Gede, masih banyak sekali obye-obyek pariwisata kesejarahan yang menyuguhkan kekhasan tersendiri dari obyek pariwisata ini, diantaranya ialah candi Prambanan, candi Sari, candi Kalasan, candi Plaosan, candi Sambisari, Ratu Boko, candi Sewu, Komplek Puro Pakualaman, Makam Imogiri, Keraton Kesultanan Ngayogyokarto, Monumen Yogya kembali, Museum Sonobudaya, dan Museum Sasmitaloka. Misalnya di Museum Sonobudaya, terdapat koleksi-koleksi benda-benda seni budaya dan purbakala yang tak ternilai seperti beranekaragam patung Hindu-Budha, wayang, pakaian tari, senjata, keris dan porselen zaman dinasti kerajaan Cina. Museum Ini dibanguan pada tahun 1935, terletak di sebelah barat-daya alun-alun utara kraton Yogyakarta.
Pada tahun 2002 tepatnya pada bulan Oktober yang lalu, di Bali terjadi tragedy yang sangat tragis, yaitu terjadinya peledakan bom Bali yang berimbas pada terpuruknya masa depan pariwisata di Bali. Terjadi pula pada tahun 2004 ini yaitu kasus pengeboman yang serupa yang terjadi tepat di depan Gedung Kedutaan Besar Australia kawasan jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta pada hari Kamis tanggal 9 September 2004. Apabila kita mau belajar dari berbagai masalah tersebut, contohnya saja selama ini pariwisata Bali masih amat tergantung pada kunjungan Wisatawan mancanegara. Memang ada, sebagian dari wisatawan nusantara yang berkunjung ke bali, akan tetapi yang lebih dominan kesana ialah masyarakat luar negeri yang ingin berlibur dan menghabiskan akhir pekannya untuk berlibur ke Bali.
Singkat kata, wisatawan luar negeri memang merupakan pasar internasional yang potensial untuk menghidupkan industri pariwisata kita. Namun, perlu kita ingat serta perlu kita garis bawahi bahwa, masih ada factor lain yang dapat membawa prospek pariwisata Indonesia agar dapat lebih maju untuk masa depannya yaitu adanya dukungan dari wisatawan nusantara yang merupakan pasar domestik yang perlu kita kembangkan lebih lanjut lagi. Oleh karena itu, pasar domestik ini jangan diabaikan begitu saja tetapi, harus terus digarap secara serius dan intensif, demi mempertahankan kelangsungan hidup pariwisata di tanah air yang telah menjadi sumber nafkah hidup jutaan orang atau rakyat Indonesia.
Yogyakarta patut berbangga hati karena mendapat kepercayaan untuk menjadi tuan rumah sekaligus pelaksana event pariwisata berskala Internasional yakni Tourism Indonesia Mart & Expo (TIME) alias pasar wisata Indonesia pada tanggal 22-29 September tahun ini. Di sisi lain Yogyakarta selaku tuan rumah, mau tak mau mempunyai tanggungjawab yang besar yaitu harus mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin untuk menyambut acara yang tergolongan sangat istimewa tersebut.
Ada yang berpendapat dikalangan ahli bahwa merosotnya atau majunya pariwisata kita hanya dilihat sebatas pada sepi atau ramainya kunjungan wisatawan ke daerah tujuan wisata atau bahkan ke lokasi obyek wisata di daerah yang bersangkutan. Sementara itu, baik-buruknya kinerja pariwisata di DIY amat dipengaruhi secara langsung maupun tak langsung oleh kondusif-tidaknya kondisi DIY secara keseluruhan bagi pariwisata atau wisatawan itulah yang dikemukakan oleh sebagain para ahli pengamat pariwisata khususnya di Yogyakarta.
Dari berbagai problema itulah timbul berbagai masalah yang terjadi berkaitan dengan keamanan terutama keamanan wisatawan, kesehatan lingkungan, politik, sosial-budaya, aksebilitas (tranportasi), komunikasi dan lainnya yang semua masalah itu akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung arus kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara ke DIY.
Untuk menjaga supaya hal-hal itu tidak terjadi maka, kita harus dapat melakukan suatu tindakan yang sifatnya permeable dapat dilakukan oleh siapa saja. Karena apabila stabilitas keadaan yang kondusif tersebut dapat kita pertahankan, hal ini akan berdampak pada arus masuknya wisatawan baik itu wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.
Misalkan, bagi seorang wisatawan yang berkunjung ke obyek tujuan wisata di daerah Istimewa Yogyakarta ini, ibarat sebagai seorang tuan rumah kita sebagai bagian dari masyarakat Yogya harus memperlakukan tamu kita sebaik mungkin. Apabila wisatawan-wisatawan tersebut berkunjung maka buatlah mereka untuk dapat tinggal di sini senyaman mungkin tanpa adanya masalah-masalah yang dapat mengancam tentunya terhadap dirinya sendiri.
Dalam hal ini, tentunya peran dari pemerintah lagi-lagi sangat dibutuhkan. Sebagai pamong atau contoh masyarakat, pemerintah supaya dapat melakukan usaha-usaha untuk mengatasi problema yang berkaitan dengan pariwisata di Yogyakarta tentunya. Contohnya memperbaiki sistem transportasi, komunikasi, politik, dan bersama-sama dengan masyarakat Yogya untuk menjaga nilai sosial serta nilai budaya yang telah ada, dan yang tak kalah pentingnya ialah memperbaiki sistem kesehatan lingkungan agar benar-benar steril terhindar dari masalah-masalah yang dapat mengganggu stabilitas keamanan kepariwisataan di Yogyakarta pada umumnya.
Kesatria Muda tak Berkuda
Pada cerita-cerita di flim kartun, sinetron, telenovela, mandarin, ataupun komik, cerpen, serta cerita dari radio bahkan yang kerap kita tonton atupun kita dengar dan kita baca, banyak dari dalam cerita tersebut muncul suatu peran terutama dalam cerita-cerita yang bersifat laga. Dalam satu kisahnya ada mungkin seorang tokoh utama atau pahlawan atau pun juga seorang kesatria, yang dalam cerita tersebut memerankan figure yang amat sentral atau penting. Karena tokoh utama dalam cerita itulah yang dapat membawa nyawa atau suatu pesan sosial atau bahkan pesan moral yang akan disampaikan oleh sutradara melalui cerita tersebut.
Seperti itu pula, sebaiknya kepariwisataan yang ada di Yogyakarta ini dapat terus ditumbuhkan serta dikembangkan sebagaimana mestinya. Sebagai bagian dari kota Yogya sendiri mau tidak mau kita harus dapat malaksanakannya. Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata sekaligus sebagai kota pelajar dan kota pendidikan tentulah harus bisa memaksimalkan potensi yang ada sekarang.
Misalkan Yogya dianggap sebagai kota pelajar dan kota pendidikan, maka tunjukkanlah semangat atau potensi itu. Yaitu dengan mengerahkan duta atau wakil termuda kita yang tak lain ialah para pelajar itu sendiri. Kita tumbuhkan semangat kepahlawanan serta jiwa muda mereka sebagai seorang duta tentunya wakil pariwisata bagi kota Yogyakarta, untuk dapat mengembangkan, memperkenalkan, serta melestarikan aset penting kepariwisataan yang ada di Yogyakarta.
Ibarat sebagai seorang kesatria tak berkuda, pelajar harus dapat memerankan peranan dan fungsinya secara maksimal untuk dapat membawa visi serta misinya sebagai tokoh utama dalam rangka mengembangkan kepariwisataan di Yogyakarta.
Yang pertama, peran pelajar itu sebagai Inisiator yaitu pelajar hendaknya mampu menjadi “penjual ide” kegiatan keilmuan di lingkungannya. Ia dengan bersunguh-sungguh serta mempunyai tanggungjawab yang besar, mampu menyumbangkan ide-ide kreatifnya untuk dapat mengembangkan pariwisata ini. Kedua, sebagai motivator yaitu dapat menimbulkan semangat “cinta kepariwisataan” dan dapat menggerakkan antar sesamanya baik dilingkungannya sendiri maupun dimana saja. Ketiga, sebagai Fasilitator yaitu dengan bekal yang mereka miliki, pelajar dapat berperan aktif sebagai fasilitator dalam rangka meningkatkan mutu kepariwisataan di Yogya. Yaitu melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga kepariwisataan atau badan pariwisata milik pemerintah. Keempat, sebagai tauladan yakni pelajar hendaknya diharapkan menjadi seorang duta yang dapat menjadi contoh serta mempelopori tentunya dalam hal yang bersifat positif, sebagai tauladan entah itu di keluarganya sendiri ataupun dalam lingkungan sosial sekalipun. Sekaligus membawa misi untuk dapat memperkenalkan, serta melestarikan kepariwisataan yang ada di Yogyakarta ini.
Maka dengan adanya peran serta tersebut juga merupakan tanggung jawab kita bersama, kita diharapkan agar dapat menjaga serta melestarikan kembali obyek-obyek pariwisata yang ada di DIY sebagai kota yang bersejarah dan berbudaya. Agar aset penting tersebut tidak punah serta termakan zaman akibat banyaknya bangunan-bangunannya yang runtuh hingga roboh.

 

Menghidupkan kembali Pendidikan di Aceh


MENGHIDUPKAN KEMBALI PENDIDIKAN DI ACEH
(Kajian Kritis Pasca 100 Hari Kinerja SBY-JK)
Oleh Fajar Kurnia Putra
Menjelang akhir tahun lalu, kita melihat kedikdayaan Tuhan YME melalui rentetan musibah yang terjadi secara terus-menerus. Hal ini sangat memprihatinkan hati kita. Dari masalah banjir, kebakaran hutan, gempa di Nabire, Alor serta yang paling dahsyat lagi bencana Tsunami yang melanda di belahan dunia ini seperti yang terjadi di Indoneis tepatnya di NAD, Sumatera Utara beberapa waktu yang lalu.
Lebih seratus ribu orang tewas akibat kekuatan alam tersebut. Sekarang kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, lusa, minggu depan, juga tahun depan. Saatnya sekarang kita hanya mampu berdoa dan pasrah kepada-Nya. Perlu kita ketahui bersama bahwa akibat gempa dan gelombang tersebut, berbagai sarana pendidikan yang ada di Aceh mengalami kerusakan total.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Sosial, bahwa bangunan sekolah yang rusak sebanyak 1.626 dengan klarifikasi 1.347 TK/SD/MI, 18 SMP/MTs, 92 SMA/SMK/MA. Di Alor, 264 bangunan yang rusak, 219 TK/SD/MI, 34 SMP/MTs, dan 11 SMA/SMK/MA. Sementara di Nabire, jumlah bangunan yang rusak sebanyak 86 terdiri dari 57 TK/SD/MI, 17 SMP/MTs, dan 12 SMA/SMK/MA.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pelaksanaan belajar dan mengajar di NAD lumpuh total. Selain itu, masih ada duka yang mendalam akibat bencana ini. Terutama luka yang bersifat trauma yang dialami anak-anak disana.
Mendiknas Bapak Bambang Sudibyo mengungkapkan bahwa program kerja 100 hari bidang pendidikan nasional telah dilakukan secara optimal melalui lima program. Diantaranya ialah penataan buku-buku sekolah, subsidi silang biaya pendidikan, pencanangan guru sebagai profesi, intensifikasi gerakan nasional pemberantasan buta aksara serta kemitraan kepala sekolah daerah tertinggal dan daerah maju.
Dari lima program yang terpampang di atas ini bila dicermati, hanya baru sebatas jangka pangjang ke depannya saja. Sedangkan seharusnya sekarang memikirkan dengan cepat bagaimana nasib putra-putri bangsa ini yang sedang di landa gempa di Aceh. Inilah tantangan terberat yang segera harus dituntaskan dicari jalan keluarnya.
Kembali seperti apa yang dikatakan di atas, bahwa langkah yang pertama dan utama dalam memulihkan sistem pendidikan di Aceh yaitu di mulai melalui pembenahan mental anak-anak kita. Bagaimana pendidikan pengembangan mental itu? Yaitu dengan diberikannya sebuah kesadaran, Pemberdayaan, dan pembebasan.
Arti kesadaran di sini mengandung makna bahwa anak-anak tersebut dipancing serta diberi motivasi hidup agar timbul dorongan yang kuat untuk mewujudkan perilaku tertentu yang terarah kepada pencapaian tujuan tertentu. Serta selalu ditanamkan impian atau cita-cita guna mengembalikan semangat mereka yang sempat hilang.
Apabila sebuah kesadaran tersebut telah kita capai langkah selajutnya ialah dengan melalui pemberdayaan atau mengikutsertakan anak-anak tersebut dalam kegiatan yang bersifat positif. Misalkan saja, anak diberi kesempatan untuk dapat mengembangkan pribadinya (potensi diri) demi masa depannya yang lebih baik. Karena dengan pemberdayaan hubungan pribadi yang baik entah itu dengan dirinya sendiri atau lingkungannya diharapkan anak tersebut dapat secara bertahap beradaptasi kembali dengan lingkungannya seperti dulu.
Selanjutnya, setelah langkah kedua diatas cara pendidikan pengembangan mental itu ialah dengan cara diberi sebuah kebebasan. Yaitu diberi rangsangan-rangsangan untuk dapat berinteraksi kembali secara normal seluas-luasnya. Dan cenderung lebih diarahkan pada pola fikir untuk menatap jauh kedepannya.
Maka dengan ini, diharapkan anak-anak tersebut setelah menjalani guncangan jiwa yang begitu dalam dapat menemukan ruh dari dalam dirinya lagi serta mempunyai mental baja untuk dapat kembali lagi pada lingkungannya, setelah melalui pendidikan pengembangan mental ini.
Tidak berhenti hanya sampai disini saja. Sekarang, setelah pendidikan mental itu mereka peroleh, bagaimanakah cara mengembalikan trauma (mengingat kembali) masa-masa indahnya ketika mereka bersekolah bersama teman-temannya di kampung halamannya ini? Alternatif jitu adalah dengan mengembalikan kepada budaya daerah serta adat -istiadat tentunya sama persis dengan daerahnya dulu.
Dalam hal mengembalikan trauma dengan adat-istiadat serta budayanya seperti dulu yaitu menggunakan metode pendidikan mengingat. Karena apabila kita mengingat aspek-aspek yang ada di lingkungan kita dulu, anak-anak tersebut masih merasa pernah mempunyai masa-masa indahnya. Dimana di daerah itu mereka dibesarkan, dikasihi oleh orang yang mereka sayangi, merasa dihormati, serta di kampung halamannya itu pula mereka mempunyai adat-istiadat yang berbeda-beda.
Nah, agar lebih metode ini merasuk dalam hati serta pikiran mereka maka dibantu langkah-langkah preventif lainnya seperti dikasih sebuah materi. Materi-materi tersebut umumnya berisikan hal-hal yang langsung berhubungan dengan cerita-cerita budaya serta adat-istiadat yang pernah anak-anak tersebut lakukan. Seperti dengan menyanyikan lagu daerah, permainan tradisional, memperkenalkan sejarah daerahnya, mengingatkan kembali pada pahlawan-pahlawan dari daerah yang bersangkutan serta masih banyak lagi yang dapat dimasukkan dalam metode ini.
Kemudian anak-anak ini agar selalu dibuat senang. Yaitu diberi daya tarik yang sangat berbeda terhadap lingkungannya sehingga mereka mempunyai kesenangan sendiri serta mempunyai kekuatan dan kesenangan lain dari pada yang lain. Kemudian tahap terakhirnya ialah dengan diberi sebuah tanggungjawab. Yang berarti bahwa anak-anak tersebut diberi tanggung jawab untuk dapat menjadi apa yang mereka cita-citakan, tanggungjawab untuk apa yang mereka perbuat, serta tanggungjawab untuk hidup secara sosial atau bersama-sama. Dan yang terakhir yaitu bagaima mereka diberi tanggung jawab untuk dapat belajar atas apa yang mereka peroleh selama ini.
Pada langkah terakhirnya setelah berbagai upaya pemberian pendidikan seperti pengembangan mental, pendidikan pengembalian trauma pada lingkungannya itu tercapai, hendaknya kabinet SBY-JK bisa melanjutkan programnya pada pemberian pendidikan formal yaitu yang cnederung pada IPTEK dan IMTAK. Tentunya untuk dapat memenuhi itu semua segala sarana dan prasarana yang berkaitan langsung dengan ini seperti, buku-buku pelajaran, bantuan seragam sekolah, gedung sekolah yang baru atau paling tidak mendirikan tenda darurat khusus untuk kegiatan belajar mengajar harus segera dilakukan.
Menurut berita yang beredar bahwa pemerintah akan memberikan beasiswa kepada anak-anak di Aceh terutama mereka yang terkena bencana gempa dan gelombang Tsunami, yaitu sebesar RP. 120.000,00 per bulannya. Hal inilah yang patut kita acungi jempol. Karena di negara ini uang hasil bantuan dari luar negeri pun melimpah ruah hampir lebih 500 terilyun surplus bagi Indonesia. Nah, kalau bukan untuk pendidikan terus buat apa lagi? Di korupsi?.
Di samping itu, pemerintahan Persiden SBY dalam 100 hari kerjanya belum semaksimal mungkin menunjukkan adanya kejelasan penanganan masalah pendidikan. Pemerintah kabinet Indonesia bersatu cenderung menempatkan bidang pendidikan pada posisi subordinat disbanding kebijakan lain yang telah mendapat prioritas. Pak SBY-JK rasanya lebih cenderung pada masalah pemberantasan korupsi dan perekonomian. Karena apabila beliau benar-benar menomer duakan nasib pendidikan ini, sama halnya dengan mengabaikan masa depan bangsa. (Drs. Mansyur Semma, MSi, Staf pengajar Universitas Hasanudin)
Kita juga semua setuju bahwa apabila kita menelantarkan pendidikan di Indonesia sama halnya dengan mengabaikan masa depan diri kita sendiri. Mungkin dengan adanya bencana Tsunami ini pak SBY-JK lebih tergugah lagi untuk dapat memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Kita seharusnya bangkit untuk dapat memperbaiki kualitas pendidikan di negeri ini. Jangan sampai kita harus tunduk pada kebodohan. Karena orang-orang yang tunduk hanyalah merupakan kumpulan orang yang tidak mau maju dan berkembang. Oleh karena itu, pendidikan ini merupakan nyawa bagi bibit-bibit muda penerus bangsa ini serta motor penggerak untuk tercapainya cita-cita pembangunan nasional yang patut kita perjuangkan.

Archives

August 2006   September 2006  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?